Perlu dihargai upaya keras seluruh jajaran puskesmas di seluruh Nusantara yang memberantas anemia di kalangan remaja puteri, melakukan sosialisasi pemberian makanan tambahan dari bahan pangan yang tersedia secara lokal dan meningkatkan cakupan imunisasi bayi, agar anak tidak mudah sakit-sakitan.
Apabila ‘gawe rutin’ ini bisa diamplifikasi, digaungkan lebih gencar dan didukung seribu persen, dan pemerintah punya kendali untuk ‘menertibkan’ etika pemasaran produk-produk konsumsi yang kebablasan, pencegahan stunting akan jauh lebih efektif.
Baca juga: Kenali, Bahaya Minum Es Teh Manis Setiap Hari untuk Kesehatan Ginjal
Seruan promosi kesehatan kerap tenggelam kalah suara dibanding teriakan promosi dagangan – yang para pakar pemasarannya belajar ilmu beriklan, sementara pakar kesehatan hanya dibekali ilmu tentang penyakit.
Sehingga, menanggapi perang santer soal minuman berpemanis pun pakar kesehatan hanya bicara soal penyakit ‘di hari esok’ – sementara publik Indonesia bicara soal ‘kesenangan hari ini’.
Makan dan minum adalah rekreasi interaktif yang menyenangkan – bahkan menyinggung status sosial. Sama seperti merk susu formula berhubungan dengan status sosial seseorang.
Jika kita tidak mengedukasi dengan mengulik nalar dan literasi, maka analoginya seperti kita semua akan berakhir naik di panggung dangdut yang ricuh, tak jelas lagi mana penyanyi dan mana penonton.
Semua berpulang ke ranah komunikasi perubahan perilaku: kenapa kita perlu belajar berencana sebelum memutuskan menikah dan punya anak, bagaimana pendidikan keluarga membuat anak sejak dini mempunyai pilihan-pilihan sehat yang dipahami, bukan sebagai larangan atau aturan belaka.
Betapa sedihnya masih ada orang yang menuduh “kok enggak boleh makan ini itu, enggak boleh minum ini itu, ribet amat ya? Lalu mana enak orang hidup banyak enggak bolehnya?” – alhasil nalar orang ini masih sebatas masalah patuh, bukan paham.
Belum lagi ada anggapan yang justru membiarkan anak dari kecil mengonsumsi berbagai jajanan, agar ‘kebal’, tidak mudah sakit karena makanannya ‘terlalu steril’. Agar ‘enggak norak’, beli produk apa saja – kan sudah ada izin BPOM.
Tidak banyak masyarakat kita yang juga memahami, bahwa izin BPOM bukan berlaku kekal. Dan bukan ranah BPOM untuk membuat studi, apakah produk yang dirilis itu jika dikonsumsi terus menerus sebagai kecanduan dan keharusan akan menyebabkan malapetaka di hari depan.
Bangsa ini masih punya perjalanan yang amat panjang untuk menerjemahkan kata ‘koreksi’ sebagai penyelamat generasi masa depan.
Mengoreksi cara berkomukasi. Mengoreksi materi edukasi. Mengoreksi nalar, agar perubahan bisa mendasar hingga akar.
Baca juga: Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.