Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Toto TIS Suparto
Editor Buku Lepas, Ghostwritter

Editor Buku

Hari Lansia Internasional 1 Oktober: Menua Tanpa Kecemasan

Kompas.com - 01/10/2022, 06:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Hanya ada satu cara menuju kebahagiaan dan itu adalah berhenti mencemaskan hal-hal yang berada di luar kekuatan kita," begitu kata Epictetus, seorang filsuf Yunani yang hidup pada abad pertama.

Ia adalah salah satu filsuf penerus filsafat Stoic, di mana aliran ini mengedepankan pandangan hidup yang berfokus pada pengendalian diri dan hidup sesuai alam atau fitrah kita.

Meski berabad-abad lalu disampaikan Epictetus, pemikiran itu masih relevan untuk direnungkan saat kita memperingati Hari Lanjut Usia Internasional setiap tanggal 1 Oktober.

Peringatan Hari Lansia Internasional dicetuskan pertama kali dalam pertemuan Rencana Aksi Internasional Vienna terhadap Penuaan (Vienna International Plan of Action on Ageing).

Penetapan 1 Oktober kemudian disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 14 Desember 1990 melalui resolusi 46/106.

Perayaan Hari Lansia Internasional memupuk harapan terhadap meningkatnya layanan kesehatan, produktivitas, dan kesejahteraan di kalangan lansia secara global.

PBB juga memprediksikan jumlah lansia akan meningkat lebih dari dua kali lipat selama 30 tahun ke depan. Pada 2050, diperkirakan jumlah lansia menyentuh angka lebih dari 1,5 juta penduduk dunia.

Lanjut usia (lansia), berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, adalah warga yang telah berusia 60 tahun ke atas.

Badan Pusat Statistik mengungkapkan jumlah lansia di Indonesia pada 2020 sebanyak 26,82 juta jiwa (9,92 persen dari total penduduk).

Diperkirakan jumlah lansia bertambah menjadi 42,0 juta jiwa (13,82 persen) pada 2030, lalu 48,2 juta jiwa (15,77 persen) lima tahun kemudian, dan akan menjadi 63,3 juta jiwa (19,80) pada 2045 nanti.

Tetap bahagia

Barangkali banyak di antara pembaca yang bakal masuk kategori lansia. Maka, marilah kita sama-sama merenungkan kalimat Epictetus di atas.

Pertama sekali, kita memang harus tetap bahagia. Untuk menggapai bahagia, kata Epictetus, maka segeralah menghilangkan kecemasan, terutama mencemaskan hal-hal di luar kemampuan kita.

Misalkan, soal usia adalah di luar kemampuan kita, maka jangan dicemaskan. Santai saja, menjadi tua memang keniscayaan.

Namun pernyataan yang gampang di lisan ini ternyata susah juga dihayati dalam kehidupan nyata. Masih banyak lansia yang cemas menjalani kehidupan mereka.

Dalam Journal of American Geriatrics Society dinyatakan bahwa 3-14 dari setiap 100 orang lansia memiliki gangguan kecemasan.

Hal-hal yang menimbulkan kecemasan itu antara lain keterasingan sosial dan kesepian. Mereka merasa kesepian ketika anak-anak pindah ke tempat lain, teman atau pasangan meninggal, dan pensiun dari pekerjaan.

Pemicu lainnya adalah apa yang disebut kerawanan finansial. Wajarlah, jika sudah pensiun maka penghasilan berkurang, sementara biaya medis meningkat. Semakin tua, tak bisa dihindari, akan menderita penyakit kronis.

Di Amerika Serikat, menurut National Council on Aging (NCOA) yang didirikan pada tahun 1950, sekitar 92 persen manula menderita setidaknya satu penyakit kronis dan 77 persen menderita dua penyakit kronis. Penyakit kronis ini termasuk penyakit jantung, stroke, diabetes, dan kanker.

Selain itu, masalah kesehatan mental memengaruhi sejumlah besar lansia. Masalah kesehatan mental ini termasuk penyakit alzheimer, demensia, dan depresi.

WHO mengungkapkan saat ini sekitar 47,5 juta orang di seluruh dunia menderita demensia (kita menyebutnya pikun), yang diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050. Lebih dari 15 persen orang dewasa di atas usia 60 menderita gangguan mental.

Ternyata, menurut Epictetus lagi, ada yang salah atas ragam kecemasan itu. "Bukan peristiwa tertentu yang mecemaskan kita, tapi persepsi kita akan peristiwa tersebut," kata filsuf Yunani itu.

Epictetus mau meyakinkan setiap rasa cemas yang kita alami sesungguhnya terbentuk dari cara pandang kita sendiri.

Maka dari itu kita mesti ubah cara pandang kita terhadap risiko-risiko hari tua. Risiko itu di luar kekuatan kita.

Selama ini kita hanya bisa memperlambat risiko, bukan menghindari sama sekali. Apa mau dikata, ikuti saja, kalau kita ingin bahagia hari tua.

Sekarang kita masuk kata kedua dari pernyataan Epictetus, yakni "kebahagiaan". Bukan soal mudah untuk menjawab pertanyaan sederhana, apa sih bahagia?

Merujuk buku babon etika, Nicomachean Ethics, Aristoteles menyatakan acap orang yang sama mengidentifikasi kebahagiaan dengan hal berbeda dalam waktu yang berbeda.

Mbah Dugel, misal, ketika ia sakit maka ia mengira kebahagiaan itu adalah kesehatan. Ketika ia miskin, ia mengira akan berbahagia jika dirinya kaya.

Bagi saya, Mbah Dugel itu sedang berimajinasi tentang kebahagiaan. Tampaknya yang bisa digunakan untuk identifikasi kebahagiaan adalah bilamana hidup kita bernilai dari sudut pandang kita sendiri.

Maksudnya, kita sendiri yang menganggap cara hidup kita itu penting dan menarik untuk diri sendiri.

Terkadang kita merasa hidup kok tak menarik, inilah gejala ketidakbahagiaan. Selain menarik bagi kita sendiri, tetapi juga bermakna untuk orang lain. Setidaknya orang lain itu terbantu dengan cara hidup yang kita pilih.

Beberapa teman yang tergolong lansia telah memilih cara hidup dan pilihan itu membuat mereka bahagia.

Seorang teman penerjemah buku merasa bahagia ketika memberikan kelas gratis teknik menerjemahkan kepada para editor yunior.

Seorang penggiat literasi mengaku bahagia karena webinar tentang gerakan literasi diminati banyak orang.

Eks chef kapal pesiar bahagia karena bisa menularkan beberapa menu kepada korban korona selama pandemi. Itulah, menurut mereka, bahagia.

Apa yang bisa kita ambil hikmah dari pilihan hidup mereka? Ketika hidup kita bermakna, maka kita akan menemukan kebahagiaan.

Jelas bahwa kebahagiaan tidak pernah didapatkan sendirian. Kebahagiaan selalu merupakan kebahagiaan lahir ketika kita berelasi dengan orang lain. Kebahagiaan itu harus dibagi bersama tetangga, kolega, sahabat dan orang yang kita cintai.

Pada akhirnya, kita bisa menciptakan bahagia. Dan kita pun tak akan merasakan masa lansia sebagai masa penuh sepi.

Kembali ke kalimat Epictetus di muka, marilah kita menciptakan kebahagiaan dengan membuang jauh-jauh kecemasan di luar jangkauan kita. Marilah kita menjadi lansia yang tidak punya beban, apalagi membebani pihak lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com