Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Pelaku Kekerasan Domestik Layak Dimaafkan?

Kompas.com - Diperbarui 12/12/2023, 12:40 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

 KOMPAS.com - Pelaku kekerasan domestik meninggalkan penderitaan dan trauma mendalam pada korbannya.

Peristiwa yang pernah dialami Riona Aurora, Venna Melinda, Lesty Kejora dan banyak pesohor perempuan itu tidak hanya melukai fisik namun juga bisa merusak mental dan masa depan.

Baca juga: Perjalanan Kasus Penganiayaan Leon Dozan yang Berujung Bebas

Tak jarang, korban sulit melanjutkan kehidupannya karena terbayang-bayang dengan pengalaman buruknya di masa lalu.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau dalam hubungan asmara memang menyebabkan seseorang kehilangan harapan karena berbagai implikasinya termasuk muncul rasa rendah diri dan tidak berharga.

Meski demikian, banyak korban yang sudi memaafkan pelakunya untuk memperbaiki hubungannya kembali. 

Hal tersebut pernah kita lihat dalam kasus Rizky Billar dan Lesty Kejora yang kemudian merajut tali pernikahannya kembali.

Baca juga: Lempar Bola Biliar, Rizky Billar Mungkin Punya Sifat Temperamental

Mungkin kita lalu bertanya-tanya, apakah pelaku kekerasan domestik layak dimaafkan dan diberi kesempatan kedua?

Memaafkan pelaku kekerasan domestik tidak bisa dipaksakan

Psikolog keluarga, Lucia Peppy Novianti, M. Psi mengatakan konsep memaafkan adalah hal normatif sehingga penerapannya kembali kepada setiap individu, terutama korban yang mengalaminya.

Dalam perspektif kemanusiaan maka sewajarnya manusia saling memaafkan namun tidak semudah itu diberlakukan untuk kasus kekerasan di ranah personal.

Alasannya, kekerasan yang dilakukan memberikan dampak yang luar biasa pada diri korban.

Baca juga: Kenapa Wanita Bertahan dalam Hubungan Penuh Kekerasan?

"Apakah salah bila korban berada pada titik tidak mampu memaafkan?" ujarnya, dalam diskusi dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu.

"Sebagai seorang manusia, sangat mungkin tidak mampu memaafkan ketika diri atau orang terdekat menjadi korban atas KDRT tersebut," jelas Lucia.

Ilustrasi. Ilustrasi
Namun ia berpesan, penting untuk menggunakan empati saat memahami korban KDRT terkait persoalan memaafkan ini.

Founder layanan psikologis Wiloka Workshop ini menekankan agar memakai perspektif korban, bukan cara pandang atau perspektif kita.

"Bisa saja apa yang menurut kita masih kategori 'biasa' saja ternyata sudah sangat melukai. Atau sebaliknya," kata Lucia, yang mengambil studinya di Universitas Gadjah Mada ini.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com