KOMPAS.com - Pelaku kekerasan domestik meninggalkan penderitaan dan trauma mendalam pada korbannya.
Peristiwa yang pernah dialami Riona Aurora, Venna Melinda, Lesty Kejora dan banyak pesohor perempuan itu tidak hanya melukai fisik namun juga bisa merusak mental dan masa depan.
Baca juga: Perjalanan Kasus Penganiayaan Leon Dozan yang Berujung Bebas
Tak jarang, korban sulit melanjutkan kehidupannya karena terbayang-bayang dengan pengalaman buruknya di masa lalu.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau dalam hubungan asmara memang menyebabkan seseorang kehilangan harapan karena berbagai implikasinya termasuk muncul rasa rendah diri dan tidak berharga.
Meski demikian, banyak korban yang sudi memaafkan pelakunya untuk memperbaiki hubungannya kembali.
Hal tersebut pernah kita lihat dalam kasus Rizky Billar dan Lesty Kejora yang kemudian merajut tali pernikahannya kembali.
Baca juga: Lempar Bola Biliar, Rizky Billar Mungkin Punya Sifat Temperamental
Mungkin kita lalu bertanya-tanya, apakah pelaku kekerasan domestik layak dimaafkan dan diberi kesempatan kedua?
Psikolog keluarga, Lucia Peppy Novianti, M. Psi mengatakan konsep memaafkan adalah hal normatif sehingga penerapannya kembali kepada setiap individu, terutama korban yang mengalaminya.
Dalam perspektif kemanusiaan maka sewajarnya manusia saling memaafkan namun tidak semudah itu diberlakukan untuk kasus kekerasan di ranah personal.
Alasannya, kekerasan yang dilakukan memberikan dampak yang luar biasa pada diri korban.
Baca juga: Kenapa Wanita Bertahan dalam Hubungan Penuh Kekerasan?
"Apakah salah bila korban berada pada titik tidak mampu memaafkan?" ujarnya, dalam diskusi dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu.
"Sebagai seorang manusia, sangat mungkin tidak mampu memaafkan ketika diri atau orang terdekat menjadi korban atas KDRT tersebut," jelas Lucia.
Founder layanan psikologis Wiloka Workshop ini menekankan agar memakai perspektif korban, bukan cara pandang atau perspektif kita.
"Bisa saja apa yang menurut kita masih kategori 'biasa' saja ternyata sudah sangat melukai. Atau sebaliknya," kata Lucia, yang mengambil studinya di Universitas Gadjah Mada ini.
Jika berusaha memberikan dukungan pada korban, kita diminta untuk tidak memaksakan segala sesuatunya, termasuk harus memaafkan pelaku.
"Memberikan dukungan itu berbeda dengan mengarahkan dalam mengambil keputusan, apalagi memaksa untuk segera memaafkan," jelasnya lagi.
Baca juga: 7 Cara Menolong Teman yang Jadi Korban KDRT
Seringkali, memaafkan dianggap sebagai upaya untuk melupakan masa lalu dan beralih ke masa depan.
Hal ini juga yang sering salah disampaikan pada korban dengan dalih agar bisa segera move on dari pengalaman buruknya.
Akan tetapi, prinsip ini tidak bisa diberlakukan jika berkaitan dengan trauma yang dialami oleh korban kekerasan dalam hubungan.
Mereka boleh saja tidak memaafkan pelaku atas tindakannya selama ini, jika memang belum bisa.
Baca juga: Kenali Kecenderungan Pasangan KDRT Sejak Pacaran
Di sisi lain, jika korban ingin memberikan maaf maka biarkan proses dan waktunya ditentukan sendiri.
"Adalah hak semua orang sebetulnya untuk memutuskan kapan sudah siap memaafkan kan?" kata Lucia.
"Hanya saja seringterjadi penghakiman terhadap korban lagi ketika korban belum siap memaafkan," ujarnya.
Hal ini yang biasanya memperburuk tekanan yang korban rasakan sehingga berdampak pada kondisi mentalnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.