Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pangan Asli yang Terinvasi

Kompas.com - 31/10/2022, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Padahal, sang ayah bekerja menangkap ikan. Di kebun melimpah pisang, pepaya, dan aneka jenis umbi dan pohon sagu besar-besar.

Suatu ironi apabila masalah stunting yang ‘laris manis’ digoreng hanya isu seputar gizi. Lebih mengerikan lagi, jika narasi tentang stunting diangkat oleh jurnalis media yang pengetahuannya pas-pasan saat wawancara.

Sehingga, opini masyarakat kian tergiring pada kondisi kemiskinan kronis yang harus ditolong dengan donasi susu ibu hamil bagi para ibu yang sedang mengandung dan susu (lagi) bagi bayi dan balita yang sedang tumbuh.

Padahal, jargon 4 sehat 5 sempurna sudah digusur lebih dari satu dekade dan pilihan protein hewani yang mudah dicerna, serta kaya mineral termasuk kalsium dan zat besi melimpah ruah di negri ini.

Publikasi dari Braun dkk dalam Journal of Clinical Nutrition 2016 berjudul Dietary Intake of Protein in Early Childhood Is Associated with Growth Trajectories between 1 and 9 Years of Age menunjukkan dengan jelas, bahwa tidak ada perbedaan tumbuh kembang anak yang mendapat asupan protein hewani non susu dan yang mendapat protein dari turunan susu.

Sebaliknya, ada perbedaan signifikan antara tumbuh kembang anak yang diberi protein hewani dibanding yang diberi protein nabati.

Begitu pula di tahun 2013 Hildegard Przyrembel dan Carlo Agostoni dalam publikasinya menjelaskan, bahwa sekali pun susu bukan merupakan suatu keharusan (dan kalimat ini sering tidak dibaca baik-baik), tapi bisa mengisi celah kekurangan pada keluarga dengan pola makan buruk.

Betapa menyedihkannya, jika pola makan buruk keluarga ini tidak ditangani, sementara susu akhirnya hanya menjadi ‘pengisi celah’ di rentang usia tertentu (dan berbalik dijadikan ‘keharusan’) hingga menjadi problematika berkasta.

Sebab jika anak mengalami intoleransi laktosa, maka dibutuhkan susu khusus yang harganya tak terjangkau (dan mustahil disubsidi pemerintah).

Baca juga: Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Risiko penyakit metabolik

Dengan maraknya makanan dan minuman manis berperasa yang disukai anak-anak, maka lebih banyak anak Indonesia memilih susu dengan imbuhan gula tinggi dan aneka rasa tambahan.

Jebakan menuju penyakit metabolik di usia remaja kian mengerikan, belum lagi beban ekonomi keluarga membuat para ibu dengan berat hati mengencerkan susu anak-anaknya dengan lebih banyak air. Lalu apa gunanya ini semua?

Tak kalah ramai, di media sosial bersliweran aneka resep makanan selingan ‘bocah masa kini’, yang membuat para ibu lebih kenal banana pancake ketimbang pisang barongko.

Atau puding panacotta nan lembut dengan aneka toping gaya bule, ketimbang talam ubi atau serabi dengan abon ikan buatan sendiri.

Fenomena di atas menjadi konsekuensi logis dengan bergesernya pangan remaja dan dewasa yang sudah kehilangan karakter etnik.

Bahkan, ada remaja yang sama sekali terheran-heran dengan pecel kecipir dan bunga kembang turi. Ulat sagu yang kaya protein dan nutrisi dianggap makanan menjijikkan, sementara lidahnya sudah terbiasa dengan sosis berlumur saos ‘tomat’ (yang tidak lagi dibuat dari tomat) atau ‘chicken popcorn’ berlumur ‘saus teriyaki’ botolan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com