KOMPAS.com - Perdebatan soal sikap open-minded dan close-minded kerap mewarnai media sosial.
Dalam banyak kasus, open-minded dinilai sebagai kualitas positif seseorang dengan pikiran kritis dan rasional serta terbuka untuk beragam ide, argumen dan informasi.
Di sisi lain, close-minded identik dengan sikap tradisional yang kaku sehingga sulit menerima perubahan.
Kebanyakan anak muda lebih sering mengaku sebagai orang berpikiran terbuka karena tak ingin dianggap kolot dan ketinggalan zaman.
Baca juga: Ditanya Tipe Pria Idaman, Prilly Latuconsina: Open Minded, Enggak Patriarki
Istilah open-minded sering disamakan sebagai sikap toleran dan bebas prasangka.
Dari perspektif psikologis, istilah ini digunakan untuk menggambarkan seberapa besar keinginan orang untuk mempertimbangkan perspektif lain atau mencoba pengalaman baru.
Menjadi orang open-minded tidak selalu mudah karena kadang kita berhadapan dengan kebingungan dan disonansi kognitif ketika mempelajari hal-hal baru yang bertentangan dengan keyakinan yang ada.
Keterbukaan pikiran juga mencakup keyakinan bahwa orang lain harus bebas untuk mengekspresikan keyakinan dan argumen mereka, bahkan jika kita tidak selalu setuju dengan pandangan tersebut.
Baca juga: A$AP Rocky Ingin Besarkan Anak Rihanna dengan Pikiran Terbuka
Sebaliknya, close-minded adalah sikap yang cenderung tidak menerima ide lain.
Perilaku ini juga sering disebut dogmatis karena hanya mau mempertimbangkan sudut pandangnya sendiri.
Memiliki keyakinan bisa menjadi hal yang hebat, tetapi keyakinan yang kuat tidak meniadakan pikiran yang terbuka.
Berpikiran terbuka berarti memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan perspektif lain dan berusaha berempati kepada orang lain, bahkan ketika kita tidak setuju dengan mereka.
Tidak mudah mengkategorikan diri sebagai open-minded atau close-minded begitu saja.
Pasalnya, ada topik tertentu yang membuat kita sulit berpikiran terbuka misalnya berkaitan dengan hal yang disukai atau masalah sosial tertentu.