Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Setiyo Wibowo
Author

Konsultan, self-discovery coach, & trainer yang telah menulis 28 buku best seller. Cofounder & Chief Editor Kampusgw.com yang kerap kali menjadi pembicara pada beragam topik di kota-kota populer di Asia-Pasifik seperti Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Dubai, dan New Delhi. Founder & Host The Grandsaint Show yang pernah masuk dalam Top 101 podcast kategori Self-Improvement di Apple Podcasts Indonesia versi Podstatus.com pada tahun 2021.

Saatnya Tidak Mengejar Kebahagiaan

Kompas.com - 07/11/2022, 13:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEBAHAGIAAN adalah dambaan - jika tidak mau dikatakan sebagai tujuan - setiap orang. Setiap detik apa yang kita lakukan mencerminkan apa yang menurut kita bisa mendatangkan kebahagiaan.

Entah mendapatkan penghasilan sebesar mungkin, meraih followers di media sosial sebanyak mungkin, mencapai jabatan sebergengsi mungkin, membeli barang bermerek, mengelilingi dunia, berkumpul bersama berkeluarga atau sekadar bisa "me time" di rumah.

Meskipun kebahagiaan sejatinya tanpa syarat, banyak orang yang "gagal" meraihnya. Tanyakan saja diri kita sendiri dengan jujur, "Apakah saya bahagia saat ini?"

Menurut Iris Mauss, PhD, seorang profesor psikologi di University of California, Berkeley; ketika kita mengajukan pertanyaan seperti itu kepada diri kita sendiri, kita justru kurang bahagia.

Pasalnya, Mauss telah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari sebuah fenomena yang oleh beberapa orang disebut sebagai "paradoks kebahagiaan".

Paradoksnya adalah ketika orang berusaha keras untuk bahagia — ketika mereka menjadikan perasaan bahagia sebagai tujuan — mereka justru menderita atau merasa tidak tentram.

Ada banyak alasan untuk hal itu. Entah karena pengaruh budaya, agama, hingga cara kita mendefinisikan dan mengejar kebahagiaan.

Namun pelajaran utama dari penelitian kebahagiaan adalah bahwa semakin kita terobsesi dengan keadaan emosional diri sendiri — semakin penting perasaan diri sendiri, dan semakin kita mencoba mengarahkannya — semakin besar kemungkinan kita mengalami masalah emosional dan psikologis.

Beberapa waktu lalu, Mauss dan kolaborator penelitiannya meminta orang untuk mendefinisikan kebahagiaan. Mereka menemukan banyak variasi dalam cara orang menjawab.

Beberapa orang mengatakan kebahagiaan berarti memiliki perasaan yang baik, yang mungkin merupakan respons paling intuitif.

Tetapi ketika ditanya perasaan baik apa yang mereka bicarakan, beberapa menyebutkan "kegembiraan" atau "kesenangan". Sementara yang lain mengatakan "kedamaian."

Beberapa orang tidak membicarakan perasaan sama sekali. Mereka mendefinisikan kebahagiaan dalam hal pengetahuan - pengetahuan bahwa hidup mereka bermakna, atau pengetahuan bahwa mereka adalah orang yang lebih baik daripada lima tahun lalu.

Yang lain mengakui gagasan mereka tentang kebahagiaan adalah memperoleh lebih banyak harta benda.

Di belahan bumi manapun, terkecuali di Nusantara ini; kebahagiaan bersifat relatif individualistis.

Fakta bahwa kita tidak dapat menyepakati apa itu kebahagiaan, mungkin sebagian menjelaskan mengapa menumbuhkan lebih banyak kebahagiaan adalah sebuah tantangan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com