Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stunting, Gangguan Perkembangan yang Mengancam Masa Depan Anak

Kompas.com - 11/11/2022, 08:24 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Wisnubrata

Tim Redaksi

Sumber WHO

KOMPAS.com - Stunting menjadi topik yang masih hangat diperbincangkan orangtua lantaran dampak buruknya bagi perkembangan anak.

Kondisi tersebut wajib diwaspadai orangtua mana pun karena angka prevalensi stunting di Indonesia terbilang tinggi -walau mengalami penurunan.

Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) menunjukkan bahwa anak di Indonesia yang terkena stunting mencapai 24,4 persen pada tahun 2021.

Itu artinya, 1 dari 4 anak di Indonesia mengalami stunting dan kondisi ini berbahaya bagi perkembangan anak seiring pertambahan usia.

Apa itu stunting?

Tingginya angka prevalensi stunting secara nasional telah mendapat perhatian dari Pemerintah selama lima tahun ke belakang.

Sampai-sampai, Pemerintah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) untuk menurunkan persentase stunting dari tahun ke tahun.

Walau stunting mengancam masa depan anak, tidak banyak orangtua yang memahami apa itu stunting, dan penyebabnya pada buah hati mereka.

Untuk masalah ini, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), menjelaskan apa itu stunting.

Ia menerangkan, secara sederhana stunting adalah perawakan pendek yang disebabkan oleh faktor malnutrisi atau infeksi kronik.

"Masalah stunting ini masih hot topic di (negara) kita," kata dr. Piprim dalam Virtual Press Conference: Parenthood Institute by PrimaKu, Kamis (10/11/2022).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), malnutrisi mengacu pada kekurangan, kelebihan, atau ketidakseimbangan asupan gizi dan nutrisi.

Khusus untuk malnutrisi yang disebabkan oleh kekurangan gizi, kondisi ini berisiko menyebabkan stunting -tinggi badan pendek menurut usia.

Di sisi lain, kekurangan gizi juga menyebabkan kurus (berat badan rendah menurut tinggi badan) dan kekurangan berat badan (berat badan rendah menurut usia).

Dampak buruk lainnya dari kekurangan gizi adalah defisiensi atau insufisiensi mikronutrien -kekurangan vitamin dan mineral penting.

Baca juga: 5 Mitos Seputar Stunting yang Perlu Dipahami Ibu Muda

Kenapa stunting bisa terjadi?

dr. Piprim mengatakan, anak memiliki "saklar pertumbuhan" yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka seiring usia.

Saklar pertumbuhan yang dimaksud dr. Piprim dapat mendorong pertumbuhan tulang, otot, saraf, usus, dan darah.

Apabila faktor tersebut "hidup" maka pembesaran organ pada anak juga berlangsung.

"Kalau itu diklik, tumbuh anak itu jadi tinggi, jadi cerdas. Dan, organ-organ lain itu menjadi optimal," jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak berjalan normal apabila asupan asam amino esensial mereka tercukupi.

Sayangnya, anak yang mengalami stunting tidak mendapatkan asupan asam amino esensial sehingga masa tumbuh dan kembangnya terpengaruh.

Tidak mengherankan apabila tinggi badan anak terlalu pendek alias kerdil untuk usia sepantaran mereka.

"Saklar pertumbuhan dipicu oleh cukupnya kadar asam amino dalam tubuh anak. Pada anak stunting, kadar itu rendah," jelas dr. Piprim.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa asam amino esensial pada anak bisa dicukupi dengan mengasup protein hewani.

Nutrisi tersebut bisa didapat ketika si kecil mengonsumsi daging unggas, daging merah, ikan, termasuk telur.

"Itu problem (negara) kita. Orangtua itu ngasih makan anaknya asal kenyang," ungkap dr. Piprim.

"Menu makan anak aja nasi satu piring, lauknya perkedel kentang, mi instan, minumannya susu cokelat yang gulanya 40 persen."

"Jadi, makanannya itu karbo, karbo, dan gula. Enggak ada protein sama sekali. Bukan kalori yang kurang, tapi proteinnya yang kurang," pungkas dr. Piprim.

Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber WHO
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com