Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diisengi sejak Dini Bikin Anak Jadi Bully Proof? Ini Pendapat Ahli

Kompas.com - 15/11/2022, 09:55 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

KOMPAS.com - Konten parenting tentang menjadikan anak bully proof dengan berbagai keisengan sejak dini jadi pembahasan di media sosial.

Dalam video yang berawal di TikTok itu, dikatakan jika berbagai tindakan bully berkedok humor yang dilakukan orangtua pada anak sejak kecil bisa menjadi pelatihan untuk menghadapi perundungan di masa depan.

Demikian pula dengan komentar cengeng dan sensitif yang disematkan pada anak ketika mereka menangis atau merajuk karena perilaku 'iseng' orangtua itu.

Baca juga: Memahami Perbedaan, Kunci Mencegah Generasi Alfa dari Bullying

Metode ini disebut akan membuat anak terbiasa sehingga tahan bullying.

Alih-alih menjadi korban, anak dinilai akan bisa menjadikan humor sebagai senjata menghadapi perundungan dari sekitarnya.

Tak pelak, cara ini langsung menuai berbagai respon dari netizen hingga menyebar di Twitter maupun Instagram.

Banyak yang mengkritik namun ada juga yang mendukung cara itu agar anak tidak mudah jadi sasaran perundungan.

Namun, apa kata psikolog soal metode kontroversial ini?

Keisengan sejak dini buat anak kebal bullying, cek faktanya

Psikolog keluarga, Lucia Peppy Novianti, M. Psi., psikolog anak mengatakan belum pernah menemukan kajian ilmiah soal cara tersebut.

"Ketika ada logik bully proof dengan bully sebanyak-banyaknya sehingga pada satu titik akan mejadi kebal terhadap bully, buat saya seperti perilaku misleading ya," ujarnya kepada Kompas.com.

Namun ia menduga jika trik bully proof tersebut mengambil konsep teori behavioristik ketika seseorang menjadi terbiasa dan tidak bereaksi berlebihan atau mengendalikan responnya ketika semakin dekat dengan penyebabnya.

"Yang misleading adalah bahwa dasar dari bully itu akan menimbulkan rasa luka, rasa sakit hati terhadap perbuatan itu," urai Lucia.

Baca juga: 5 Hal yang Dirasakan Orang Setelah Di-bully, Tidak Hanya Sakit Hati

"Logikanya, ketika seseorang disakiti terus-menerus, apakah dia akan menjadi kebal? Kok saya tidak menemukan hal itu," tegasnya.

Sebaliknya, ia menambahkan, luka tersebut akan terlalu dalam atau seseorang menjadi tidak merasakan rasa sakit itu sehingga akan lebih seperti kehilangan respon emosi karena terlalu sering mengalaminya.

"Justru ketika seseorang tidak lagi bisa merasakan emosi atas perbuatan yang dialaminya, kok bisa ke arah negatif ya nantinya," ujar wanita yang kini sedang menjali studi lanjutan di Universitas Gadjah Mada itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com