Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Lesti hanyalah satu dari sekian banyak kasus KDRT yang terungkap. Pasalnya, perempuan tetap rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, meskipun ada komitmen dan janji suci dalam pernikahan.
Akan tetapi, Lesti patut diacungi jempol karena berani melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Rizky Billar, suaminya, kepada pihak berwajib.
Laporan itu berujung penetapan Rizky Billar sebagai tersangka pada Rabu (12/10/2022). Tak lama berselang, dengan beragam alasan, Lesti mencabut laporannya.
Perihal KDRT ini dibahas juga dalam siniar Obrolan Meja Makan bertajuk “Menyikapi Pasangan yang Melakukan KDRT” yang dapat diakses melalui tautan https://dik.si/OMMPasanganKDRT.
Pasalnya, KDRT merupakan perilaku berbahaya, tindak pidana, dan dapat mengancam nyawa. Bila korban KDRT tidak menyadari dirinya sedang berada dalam hubungan membahayakan, bukan tidak mungkin tindakan KDRT akan semakin berat dan luas eskalasinya.
Mulai dari membentak istri, melakukan kekerasan fisik, hingga berimbas pada anak sebagai korban. Bahkan, tidak jarang KDRT berujung pada hilangnya nyawa korban. Sayangnya, banyak korban KDRT yang tidak menyadari dan menormalisasi kekerasan dalam kehidupan rumah tangga.
Baca juga: Pentingkah Edukasi Seks pada Remaja?
Keadaan seperti inilah yang menjadi salah satu hambatan implementasi Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yaitu UU No. 23 tahun 2004 yang nyatanya sudah 18 tahun memberikan payung bagi korban KDRT.
Seperti yang terjadi di kala seorang pria bernama Rizky Noviyandi Achmad (31) yang membantai anggota keluarganya di kediamannya, Kel. Jatijajar, Kec. Tapos, Depok pada Selasa (1/11/2022). Berdasarkan pemeriksaan, Rizky mengakui perbuatannya lantaran dibuat kesal oleh sang istri, berinisial NI (31), yang kerap menanyakan masalah utang.
Kemidian, pada Sabtu (5/11/2022), suami berinisial MS memukul istrinya di depan anak mereka. Tentunya, KDRT tidak hanya membahayakan korban, melainkan membuat trauma terhadap anak.
Lebih dari itu, KDRT merupakan penyakit masyarakat yang berdasarkan pada budaya masyarakat yang menempatkan laki-laki dewasa di posisi superior, sementara perempuan dan anak-anak inferior.
Hal ini berujung pada pembenaran segala tindakan KDRT yang dilakukan laki-laki akan merasa dibenarkan. Itu sebabnya, korban KDRT kerap akan bertindak bila lingkungan sekitarnya mampu memberikan dukungan positif untuk melaporkan adanya tindak KDRT.
Oleh karena itu, anggapan masyarakat tentang kekerasan sebagai sesuatu yang wajar dalam rumah tangga yang telah menjadi budaya haruslah diubah. Bahkan, dampak dari KDRT dapat menyebabkan adanya trauma bagi anggota keluarga.
Lantas, bagaimana caranya menyikapi KDRT?
Pemerintah boleh merasa cukup hanya dengan mengeluarkan kebijakan dan undang-undang. Pemerintah dapat mengupayakan sejumlah tindakan preventif dengan melakukan sosialisasi terkait KDRT.