Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Istimewanya Kain Tenun Asal NTT, dari Filosofi hingga Warna

Kompas.com - 21/11/2022, 09:00 WIB
Chelsea Austine,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pengaruh modernisasi seringkali membuat masyarakat abai dengan budaya sendiri. Padahal, apa yang Indonesia miliki tidak kalah bagusnya dan belum tentu bisa ditemukan di luar, layaknya kain tenun.

Tenun merupakan proses pembuatan kain menggunakan alat tenun, dengan menggabungkan serta menyilangkan benang secara melintang dan memanjang.

Nah, ada beberapa daerah yang terkenal sebagai pengrajin tenun terbaik di Indonesia serta bagian dari kampanye industri Pariwisata #DiIndonesiaAja. Diantaranya tenun Sumatera Utara, Palembang, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berhubungan dengan itu, Meet The Makers (MTM), komunitas pelestari budaya Indonesia, menghadirkan para penenun perempuan dari tiga area di Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni dari Suku Molo, Savu, dan Biboki, sebagai bagian dari aksinya ke-15, Jumat (18/11/22).

“Tidak banyak yang tahu bahwa tenun di Indonesia terutama di NTT, bukan hanya sebuah produk kain khas yang ditenun, tetapi ada cerita, nilai sejarah, dan kearifan. Bahkan motif-motif yang dihasilkan merupakan bagian dari sejarah desa, klan, bahkan juga alam,” ucap Crissy, representatif Meet The Makers Indonesia

“Kami ingin memperlihatkan kepada publik agar tenun yang dibuat perempuan pelosok di NTT bisa lebih dihargai dengan lebih baik lagi, dan semakin membanggakan bagi yang membeli dan memakainya.”

"Harapan utamanya, semoga masyarakat modern bisa lebih menghargai dengan memahami jerih payah para penenun untuk menghasilkan ragam kain, baju, dan aksesoris nan autentik," lanjutnya.

Mama Aleta memberikan kata sambutan dan menyampaikan sekilas cerita mengenai kain tenun asal NTT Chelsea Austine Mama Aleta memberikan kata sambutan dan menyampaikan sekilas cerita mengenai kain tenun asal NTT
Acara ini dihadiri oleh Aleta Baun selaku pemimpin perajin tenun di Molo, Timor Tengah Selatan, sekaligus menjadi perwakilan dari para penenun asal NTT dalam acara MTM.

Akrab dipanggil Mama Aleta, beliau pernah menerima Goldman Environmental Prize, langsung dari Presiden Amerika Serikat saat itu yakni Barack Obama.

Mama Aleta menjelaskan bahwa awalnya kain tenun tidak digunakan untuk keperluan fesyen atau bergaya, melainkan sebagai tanda penghormatan terhadap acara-acara sakral seperti pesta pernikahan dan upacara pemakaman.

Misalnya motif pedang yang harus dipersembahkan kepada para raja ketika meninggal.

Nah, proses pembuatan tenun sendiri dibagi menjadi tiga yakni tenun ikat atau futus yang mana motifnya terbentuk lewat pengikatan benang-benang.

Lalu ada tenun buna yang merujuk pada proses pewarnaan benang terlebih dahulu sebelum ditenun menjadi suatu motif.

Ada pula tenun lotis atau sotis yang pembuatannya cukup serupa dengan buna, tetapi dipadukan dengan gaya sulam.

Potret para penenun yang didatangkan langsung dari NTT, saat mengerjakan tenunan dengan alat tenun Chelsea Austine Potret para penenun yang didatangkan langsung dari NTT, saat mengerjakan tenunan dengan alat tenun
Biasanya para penenun melakukan kegiatan menenun serta menyulam sejumlah motif secara bersamaan, sehingga hasil akhirnya terlihat seperti tiga dimensi.

Terlepas dari adanya tiga teknik menenun, daerah-daerah di NTT diketahui memiliki keunggulannya masing-masing dan tidak semua teknik diterapkan. Contohnya saja pulau Savu yang hanya menenun Futus.

Kalau berbicara perihal warna, kebanyakan ditentukan oleh kondisi daerah asal tenunan tersebut. Misalnya daerah Timor Tengah Utara kainnya penuh dengan warna hitam dan kecoklatan karena daerahnya cukup hangat.

“Kalau di TTS, Timor Tengah Selatan, itu warnanya nyala, cerah. Mereka lebih memilih warna cerah. Mengapa mereka memilih warna cerah? Karena di tempat mereka itu banyak alam yang iklimnya terlalu dingin, sehingga memang mereka memilih warna cerah. Tetapi kenapa di sabu, mereka memilih coklat? Karena di sana panas sekali dan pada musim panas, semua rumput-rumput tersebar warna coklat,” ucap Mama Aleta.

Jadi tenunan yang sering kamu jumpai sebenarnya memiliki sejarah, cerita, dan keistimewaannya tersendiri.

Kain tenun NTT, dalam acara Meet The MakersChelsea Austine Kain tenun NTT, dalam acara Meet The Makers
Mengingat hal ini, kain tenun dari daerah berbeda, akan menyiratkan kepercayaan yang berbeda juga. Di NTT sendiri, mereka percaya bahwa tenun merupakan wujud hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta atau leluhur.

“Kain tenun punya hubungan langsung dengan Tuhan, bumi, dan leluhur. Dengan leluhur itu adalah pengetahuan lokal yang diangkat dari zaman ke zaman. Sedangkan terhadap bumi itu karena ada benang, kayu-kayu, dan pewarna (dalam proses menenun),” cerita Mama Aleta.

Menurutnya, ketiga faktor tersebut adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan berperan penting sebagai sumber inspirasi para penenun di NTT.

Apalagi bagi masyarakat NTT, kain tenun dijadikan sarana berkomunikasi lewat corak dan warnanya. Mengingat, media elektronik belum menyebar pada saat itu. Makanya, beberapa motif tenun terkadang memiliki makna yang lebih dari hanya sekedar corak nan indah.

Sekarang ini, kain tenun dengan ragam corakan sudah bisa kamu temukan di berbagai jenis barang, baik aksesoris maupun pakaian.

Aksesoris yang dijual oleh para penenun dari NTT dalam acara MTM Chelsea Austine Aksesoris yang dijual oleh para penenun dari NTT dalam acara MTM
Di acara MTM sendiri, para penenun menjual hasil karyanya mulai dari Rp200.000 hingga Rp15.000.000. Ada dompet, kalung, alas makan, tas, dan lainnya.

Harganya bisa jadi lebih mahal apabila proses pembuatan tenun tersebut memakan waktu lama, sekitar 6 hingga 7 bulan. Pasalnya, tenunan kain yang sepenuhnya alami dan autentik, umumnya dibuat dengan bahan-bahan nan dipanen sendiri oleh para pengrajin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com