Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Filsafat kadang terlalu sulit dipahami. Kadang juga ditakuti. Akan tetapi, filsafat adalah ibu dari ilmu pengetahuan. Bahkan, tidak sedikit filsafat yang dijadikan landasan hidup bahagia.
Salah satunya adalah filsafat stoic atau stoa yang dikemukakan oleh filsuf Yunani Kuno, yaitu Zeno.
Filsafat stoa sendiri mengacu pada rasa kagum atas tatanan dan keteraturan. Hal ini juga yang dijelaskan Henry Manampiring, penulis buku Filosofi Teras (2018) dalam siniar Beginu bertajuk “Membuka Lembar Filosofi Teras” yang dapat diakses melalui dik.si/BeginuHenryP1.
Zenu sendiri mengungkapkan bahwa keteraturan di dunia bukanlah suatu kebetulan atau dibuat-buat, melainkan sebuah logos yang tidak hanya berkaitan dengan sifat rasional manusia.
Pendek kata, logos di sini adalah rasio dunia yang mengarahkan segala sesuatu ke tujuan hakikinya, seperti nasib atau takdir.
Lantas, bagaimana mencapai kebahagiaan dengan filsafat stoa?
Seneca (salah satu tokoh filsafat stoa) mengungkapkan bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang dapat sepenuhnya menyesuaikan dirinya dengan hukum kodrat. Maksudnya, manusia tidak dapat melepaskan diri dari hukum alam.
Maka dari itu, penting dalam filsafat stoa, manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan alam.
Dengan begitu, manusia tidak perlu lagi tergantung pada apa pun yang sifatnya duniawi dan berada di luar kemampuannya. Keadaan ini juga termasuk dalam mengendalikan emosi dan nafsu.
Baca juga: Transformasi Dunia Digital dalam Media Konvensional
Menurut Seneca, sudah sepatutnya jika ingin mencapai kebahagiaan, manusia memiliki watak yang kuat dan bijaksana. Sementara itu, manusia yang masih belum dapat mengendalikan hawa nafsu dan emosi berartikan dirinya masih tergantung oleh hal-hal yang sifatnya duniawi.
Lebih dari itu, manusia yang telah melepaskan segala hal yang sifatnya duniawi akan mencapai kebijaksanaan dan kebebasan. Dia akan dengan mudah menghadapi masalah dan penderitaan. Dia akan tetap bahagia dan terbebas dari penderitaan.
Epictetus berpendapat bahwa manusia hanya sedikit yang bisa dirinya kendalikan. Kita tidak bisa mengendalikan apa yang sedang terjadi, orang-orang di sekitar, bahkan tidak semua bagian tubuh dapat kita kendalikan.
Satu-satunya yang dapat kita kendalikan adalah pemikiran. Dengan mengendalikan pikiran, kita dapat menanggalkan segala hal yang membuat kita sedih dan membebani pikiran. Pengendalian pikiran ini akan membawa kita kepada prinsip penilaian kehidupan.
Pendek kata, kita harus dapat mengidentifikasi beragam masalah yang layak dijadikan masalah atau angin lalu saja. Identifikasi ini juga akan merepresentasikan dan memengaruhi kita dalam berkehidupan, khususnya ketika dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan.