Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Tanggap Bencana, Seharusnya Gizi Tetap Terjaga

Kompas.com - 30/11/2022, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saat saya berada di Lombok Timur bersama relawan Wahana Visi Indonesia 4 tahun yang lalu, di saat gempa hebat nyaris menyentuh magnitudo 7.0 skala richter, tenda ramah anak kami selalu diisi aneka edukasi: mulai dari tips pola hidup bersih dan sehat hingga soal cara pemberian makan bayi dan anak.

Betapa mirisnya saat ibu-ibu mengakui, anaknya justru doyan makan karena resep-resep sederhana.

Bahkan mereka bisa merasakan manisnya bayam, gurihnya sup telur walaupun tanpa bumbu kemasan yang menjadi andalan mereka sehari-hari.

Baca juga: Gempa Lombok: Bukan Sekadar Retaknya Jalanan dan Runtuhnya Rumah

Ketika pasar rakyat belum pulih, warung-warung lebih dahulu berlomba menjajakan aneka produk kemasan, yang mereknya saja di kota besar seperti Jakarta tidak pernah terdengar.

Biskuit-biskuit murah sarat gula dan lemak trans menjadi andalan ibu-ibu ketika anaknya rewel.

Dan yang paling menyedihkan, saat di tenda ramah anak sedang berlangsung edukasi cuci tangan pakai sabun, mendadak beberapa anak berlarian keluar, karena ternyata ada sekelompok donatur sedang membagikan kantong-kantong warna warni berisi susu kotak aneka rasa (yang gulanya selangit), wafer, camilan keripik tinggi garam dan lagi-lagi lemak trans, plus segenggam permen.

Saat kami berdiskusi dengan beberapa orangtua, mereka justru menunjukkan sikap tak senang, seakan-akan kami mempertanyakan niat baik para donatur: sudah bagus ada yang menyumbang, masa ditolak? – begitu raut wajah mereka yang bisa kami tebak.

Lain bencana, lain tenda, lain cerita. Saat membantu masyarakat pasca tsunami Selat Sunda di Pandeglang, kami juga berhadapan dengan orang-orang yang sama sekali tidak peduli akan bahaya merokok di lingkungan anak.

Dengan santainya para bapak merokok sambil menjaga beberapa anak balita, karena ibunya sedang sibuk di dapur MPASI.

Sementara, beberapa anak itu juga batuk berdahak dengan ingus meleleh, yang mana sudah menjadi pemandangan biasa.

Baca juga: Kurus, Gizi Buruk, Stunting: Wajah Ngeri Anak Indonesia

Sekali lagi, ketika kami bersama para ibu berlatih membuat MPASI, tiba-tiba terdengar keriuhan di pekarangan depan yang ternyata beberapa mobil pick up berbaris menurunkan berkarton-karton mi instan aneka rasa dan ‘susu balita’.

Padahal, baru saja pagi sebelumnya ada seorang ibu yang menangis meraung-raung, karena anaknya diare dan tidak mau makan.

Hampir saja yang dituduh dapur anak, diandaikan membuat dan membagi MPASI yang tidak higienis.

Padahal anak-anak lain tidak ada yang diare. Ternyata setelah diusut, benar saja, anak yang diare itu sengaja mau disapih ibunya dan diberi susu kotak. Dan rupanya anaknya intoleransi laktosa.

Yang akhirnya menurut pengakuan sang ibu, memang sudah pernah diare setiap kali diberi aneka jajanan berbahan susu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com