Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhardis
PNS

Saat ini bekerja sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN

Perempuan-perempuan Cho Nam Joo

Kompas.com - 01/12/2022, 08:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Permasalahan tidak terhenti di sini. Pembaca sebagai sosok penikmat karya tidak semuanya memiliki daya analisis yang sama dengan pembaca sastra.

Mereka yang sedang gamang dan membaca kisah ini, berpeluang mengamini perkataan dan perbuatan tokoh. Lebih-lebih di akhir cerita tokoh digambarkan bahagia dengan keputusan yang dia ambil.

Bagaimana dengan perempuan-perempuan Cho Nam Joo?

Pertama, Kim Eunsoon. Perempuan ini digambarkan sebagai pekerja staf restoran berusia 29 tahun. Pekerjaan itu ia lakoni sambil menyelesaikan studinya di universitas. Ia terlambat masuk universitas karena terbiasa bekerja semenjak duduk di SMK.

Tampak bukan? Frame seperti ini sangat dekat dengan keumuman perempuan kekinian di belahan negara mana pun. Bekerja sambil kuliah hingga melupakan usia yang terus beranjak.

Eunsoon dan perempuan-perempuan di luar sana, memiliki pekerjaan, berpendidikan, namun di usia menjelang kepala tiga masih belum kepikiran untuk berumah tangga.

Jangan dibilang mereka tidak memiliki kekasih hati. Ia hanya tidak ingin terburu-buru menikah.

Penulis melalui Eunsoon menyampaikan idenya bahwa Eunsoon bukanlah jenis perempuan yang menikah hanya karena desakan usia dan sistem sosial. Eunsoon tidak antipernikahan, ia hanya tidak ingin terburu-buru.

Bagaimana dengan gadis-gadis Indonesia lajang di luar sana? Sanggupkah menjadi Eunsoon?

Kedua, pengantin perempuan. Tidak ada nama yang diberikan oleh penulis. Ia baru saja menikah dengan laki-laki yang ia pikir bisa membahagiakannya sebagai tulang rusuk.

Permasalahan dimulai saat ia pulang bulan madu. Ibu mertua mencampuri urusan rumah tangga putranya. Sepertinya sang ibu belum mengikhlaskan anaknya berumah tangga.

Suami yang ia cintai tidak membelanya sedikitpun. Akhirnya, si pengantin perempuan mengakhiri pernikahan.

Baginya, kebahagiaan pernikahan ialah bebas menjadi diri sendiri tanpa embel-embel sebagai istri dan menantu. Yang berubah hanyalah status hubungan. Pernikahan tidaklah upaya memenjarakan kebebasan dan kebahagiaan diri sendiri.

Ya, mertua seperti itu tidak sedikit di Indonesia. Bahkan sinetron ikan terbang menjadikannya ide yang tiada putus-putusnya.

Mertua yang begitu mencintai putranya. Baginya, sedewasa apa pun putranya, tetaplah sosok kanak-kanak di matanya.

Siapkah Anda bercerai bila dihadiahi Tuhan mertua yang seperti itu sepaket dengan putranya, duhai kaum hawa?

Kembali ke ide awal tulisan ini. Jika karya ini dibaca perempuan pembaca yang sedang berkasus sama dengan perempuan-perempuan Cho Nam Joo, apa yang akan terjadi? Apakah tren pernikahan semakin merosot?

Cerdiknya penulis, ia tidak menguraikan lebih lanjut seperti apa kehidupan tokoh-tokoh perempuannya setelah memilih jalan hidup: tidak buru-buru menikah dan mengakhiri pernikahan.

Seperti yang ia sampaikan di bagian prakata, ini semua cerita bermakna. Ia hanya bertugas mengungkap dan menuliskan. Semua diserahkan kepada pembaca.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com