Selama di Tanah Sumba, Edward Hutabarat semakin mengerti bahwa kain tenun Sumba adalah salah satu masterpiece Indonesia yang perlu diangkat, dipromosikan, dan dijaga kelestariannya.
Sebab, katanya, kain tenun Sumba sebenarnya diciptakan untuk melengkapi sebuah seremoni dan apa yang ia tampilkan berasal dari masing-masing kerajaan di Sumba.
"Nah, seremoni apa yang ada di Tanah Sumba, Marapu adalah doa kepada sang leluhur karena masyarakat Sumba percaya bahwa sang leluhur sudah ada di samping sang pencipta," jelasnya.
"Sehingga setiap seremoni itu, perangkat-perangkatnya harus istimewa."
Sementara Edward Hutabara menjelaskan kedekatan emosionalnya dengan tanah Sumba, ia juga menerangkan asal mula "Kabakil" yang menjadi tajuk perhelatan busananya.
Ia menyampaikan bahwa kabakil adalah teknik akhir dalam menyelesaikan sehelai kain tenun Sumba yang dikerjakan dengan arah tenunan berlawanan dan dipelintir.
"Ini ujung kain (tenun Sumba) namanya kabakil," ucapnya.
"Keindahan selembar kain tenun dilihat dari keindahan kabakilnya. Saya tidak mau membuat tenun baru untuk apa? Yang saya lakukan adalah menjiplak dari yang lama menjadi yang baru," tutur Edward Hutabarat.
Perlu diketahui bahwa proses pembuatan kabakil bertujuan supaya benang tidak terlepas sehingga kain tenun Sumba menjadi rapi. Menariknya, tidak semua perajin kain tenun Sumba bisa membuat kabakil.
Berawal dari kabakil itulah dan deretan koleksi Autumn/ Winter 2023 yang mengangkat kain tenun Sumba, Edward Hutabarat ingin menyuarakan satu hal.
Ia ingin koleksinya melindungi eksistensi kain Nusantara supaya keindahan ini tidak lepas layaknya kabakil yang melindungi benang agar tercipta motis kain tenun Sumba yang indah.
Saat ditemui Kompas.com sehari selepas fashion show-nya di Candi Borobudur, terselip satu fakta menarik yang nyaris mengganggu peragaan busana Edward Hutabarat -namun akhirnya berakhir manis.
Ia mengatakan, hujan yang mengguyur fashion show-nya sebenarnya adalah keinginan tersirat dirinya sendiri untuk membuat efek hujan buatan kepada penonton selepas acara.
Namun, apa daya. Hujan buatan yang diinginkan Edward Hutabarat tak terwujud dan justru diganti oleh semesta menjadi hujan yang sesungguhnya yang mengguyur Kabupaten Magelang dari pagi hingga malam hari.