Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Dari Rasa Menjadi Petaka

Kompas.com - 15/12/2022, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Belajar dari Jepang

Saya beruntung berkesempatan mengunjungi Nara, salah satu kota yang cukup jauh dari Tokyo dan ‘makan seperti orang Jepang’, yang amat menghargai pangan utuh, di mana setiap pagi selalu ada sayur dan buah, ikan atau telur, dan sedikit nasi yang ditanak dengan aneka kacang dan biji-bijian. Sama sekali tidak ada menu gorengan.

Orang-orang tua berjalan kaki dengan gesit, sekali pun suhu dingin sekitar 6-7C setiap hari.

Amat sangat sulit mencari figur obes, sama sulitnya menemukan sampah atau sekadar ceceran bekas bungkus makanan di stasiun atau selokan di depan rumah mereka.

Paparan mayones dan aneka es krim dan coklat menjadi konsumsi generasi Harajuku.

Transportasi terlayani dengan begitu baik, kereta api cepat sekelas shinkansen menjadi andalan, karena terjangkau dari pelbagai penjuru hanya dengan berjalan kaki.

Jepang menjadi begitu terkenal dengan ruwetnya jalur kereta api dan metro – yang menjadi penghubung antar kota dan antar distrik, bebas macet bebas polusi.

Teknologi juga berkembang amat pesat dengan hamparan solar panel hingga ke desa. Hampir semua atap rumah terpasang penghasil tenaga listrik ramah lingkungan – yang saya yakin jika diterapkan di negri kita, akan muncul perdebatan berabad-abad untuk alasan yang tak ada hubungannya dengan pengadaan listrik itu sendiri.

Baca juga: Produk Olahan Makin Mahal, Gizi Optimal Harus Lebih Rasional

Jepang relatif negara kecil dibanding Indonesia. Yang pernah mengalami stunting lebih parah dari negri kita hari ini, bahkan dikenal saat perang dunia ke dua dengan tentaranya yang pendek- pendek.

Memang bukan hal yang perlu dibuat menjadi sentimen rasa iri, karena saya yakin kita juga bisa lebih dari mereka, asalkan Indonesia tidak kebablasan dengan istilah inovasi dan teknologi.

Pendidikan karakter dan kearifan memaknai kemajuan teknologi sudah saatnya ditekankan untuk bisa memberi batasan yang tegas, mana ranah teknokrat dan mana area kodrat, yang justru harus dipertahankan sesuai hak manusia yang bermartabat: salah satunya ketahanan pangan negara yang berdaulat.

Sangat aneh jika disebut harga pangan ‘tak terjangkau’, sementara bahan pangan itu melimpah tersedia secara lokal. Yang harganya ‘terjangkau’ justru produk-produk kemasan instan.

Sangat tidak adil jika kabupaten yang nilai kualitas bahan pangan tinggi juga terdapat prevalensi stunting dan malnutrisi yang tinggi.

Hanya karena kemiskinan listerasi dengan akibat memberi bayi sufor lebih bergengsi, apalagi jika ibu ikut bekerja demi sekarung nasi, merokok dianggap mendongkrak harga diri laki-laki, serta membeli aneka jajanan anak di mini market dianggap lebih keren ketimbang membuat kudapan di rumah.

Dan ketika kesehatan usus besar anak terganggu akibat produk kemasan itu, diresepkanlah probiotik berminggu-minggu.

Padahal kalau saja anaknya rajin makan sayur dan buah, ususnya otomatis sehat dengan probiotik alami yang hidup berkat prebiotik serat tidak larut sayur dan buah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com