Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Perasaan Tidak Mau Terluka yang Melukai Diri Sendiri: Self-Defeating Habit

Kompas.com - 20/12/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Meylisa Permata Sari, S.Psi., M.Sc. dan Denrich Suryadi, M.Psi., Psikolog

Engga lah pasti gagal, mending enggak usah coba."
Ah, mereka puji cuma untuk menghibur aku aja. Aslinya mah pasti jelek banget."

APAKAH kalimat tersebut tidak asing di telinga kamu? Mungkin kamu mendengarnya dari media sosial, teman, anggota keluarga, atau mungkin dari dirimu sendiri?

Kalimat-kalimat tersebut seringkali merefleksikan kebiasaan menjatuhkan diri sendiri (self-defeating habit).

Self-defeating habit

Self-defeating habit adalah pola perilaku yang dilakukan baik secara sadar ataupun tidak sadar untuk mencegah, mengurangi, atau membatasi kemampuan untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Dilansir dari Psychology Today, Dr. Carl E. Pickhardt memberikan daftar self-defeating habit yang umumnya dilakukan. Beberapa contohnya seperti:

  • Rasa tidak percaya: “Aku menghindari orang lain sebelum mereka meninggalkan aku.”
  • Rendah diri: “Aku orangnya payah, ngapain coba.”
  • People pleasing: “Aku akan melakukan apapun agar dapat diterima orang lain.”

Kebiasaan ini merupakan bentuk perilaku manusia yang paling paradoks. Seseorang mempunyai tujuan, namun ia sendiri yang mencegah langkahnya untuk mencapai tujuan tersebut.

Kok bisa melakukan kebiasaan ini?

Self-defeating habit berhubungan dengan pandangan negatif mengenai diri sendiri (low self-esteem). Selain itu, Dr. Milton R. Cudney menyatakan bahwa rasa takut merupakan sumber energi dari kebiasaan ini.

Percaya atau tidak, kebiasaan menjatuhkan diri sendiri justru merupakan strategi yang digunakan seseorang untuk menjaga harga diri, terutama pada situasi yang dianggap tidak dapat dikontrol.

Contohnya kita sebut saja sebagai Anna. Ia mendapatkan tawaran untuk kuliah dengan beasiswa S2 di salah satu universitas luar negeri yang berkualitas.

Di satu sisi ia merasa senang, tapi merasa tidak cukup pintar untuk menerima tawaran tersebut.

“Ah masa sih? Kan aku enggak sepintar itu”, “nanti bagaimana kalau aku tidak perform sebaik yang dibayangkan?”, “Ah, Bahasa Inggris aku jelek, nanti malu-maluin”. Akhirnya Anna menolak tawaran tersebut.

Kelihatannya tidak masuk akal, tapi ini pernah terjadi. Kebiasaan yang dilakukan tidak selalu seekstrem ini, namun jika pola ini berulang, hal seperti ini dapat terjadi.

Kebiasaan ini tidak terbatas pada satu situasi saja, tapi dapat terjadi di berbagai situasi, seperti sekolah, kuliah, kerjaan, hubungan pertemanan, hubungan romantis, ataupun dalam keluarga.

Saat seseorang sebenarnya memiliki kesempatan untuk mencapai sesuatu, tapi kesempatan itu tidak diambil karena ketakutan akan gagal dan merasa sakit lebih besar.

Semua orang pastinya mengharapkan adanya kepastian, tapi orang yang memiliki pandangan negatif tentang dirinya seringkali menganggap hal terburuk yang akan terjadi. Oleh sebab itu, sebelum kejadian yang ditakutkan terjadi, ia menarik dirinya terlebih dahulu.

Dampak dari self-defeating habit?

Self-defeating habit dan pandangan negatif merupakan siklus yang sangat berbahaya, dan mengarahkan hidup seseorang ke arah yang jauh lebih negatif, bahkan disfungsional.

Dalam upaya menggagalkan usaha sendiri, seseorang akan menganggap kemampuannya buruk dan tidak dapat mencapai tujuannya. Kemudian karena ia merasa kondisinya parah, di situasi berikutnya ia kembali menjatuhkan diri sendiri, dan seterusnya.

Tentunya self-defeating habit akan menurunkan kualitas kehidupan seseorang secara umum. Kebiasaan ini juga dapat menyebabkan kesepian.

Seseorang akhirnya mengisolasi diri dari lingkungan sosial supaya tidak perlu merasa tidak disukai atau akan ditinggalkan, dan akhirnya kekurangan koneksi sosial yang menjadi penyebab kesepian.

Penelitian yang dilakukan oleh Lester dan Schaeffler terhadap siswa SMA dan mahasiswa bahkan menemukan bahwa self-defeating personality berhubungan dengan depresi dan ide bunuh diri.

Ternyata efek dari kebiasaan ini buruk sekali ya, kira-kira bagaimana cara untuk mengurangi self-defeating habit ini?

Mengurangi self-defeating habit

Kenali kebiasaan yang dilakukan. Gunakan daftar self-defeating habit yang diberikan oleh Dr. Pickhard untuk merefleksikan apakah ada kebiasaan yang ternyata kita lakukan.
Identifikasi situasi yang memicu kebiasaan tersebut.

Coba deh lebih diperhatikan, respons ini biasanya muncul di situasi-situasi seperti apa? Apakah dalam menerima kepercayaan lebih dari orang lain? Apakah saat ada kesempatan untuk memperbaiki situasi diri sendiri?

Refleksi awal dari kebiasaan ini. Setelah mengetahui situasi yang memicu kebiasaan ini, kita mulai dapat melakukan napak tilas sejak kapan kebiasaan ini terbentuk. Situasi pertama apa yang memulai pola perilaku ini.

Identifikasi dampak dari kebiasaan ini. Seringkali seseorang hanya ingin menghindari kemungkinan mengalami terlukanya harga diri yang dianggap sudah rapuh, tapi tidak melihat apa dampak dari kebiasaan menghindar tersebut.

Dengan lebih menyadari penyebab dan dampak, seseorang dapat menjadi lebih waspada dan rasional dalam menentukan pilihan-pilihan yang diambil.

Sadari potensi diri. Seseorang yang terbiasa untuk menjatuhkan diri sendiri cenderung memiliki harga diri yang rendah.

Seringkali lupa bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berkembang dan belajar menjadi lebih baik. Jadi, kita dapat mencoba lebih secara sadar merefleksikan apakah memang diri kita seburuk itu?

Tuliskan plus dan minus kita, lalu coba dilihat dari kacamata objektif. Kalau orang lain seperti itu, apakah kita akan menganggap orang tersebut rendah? Atau ternyata kita terlalu bias dan kritis terhadap diri sendiri?

Cari bantuan profesional. Ingat, self-defeating habit juga dapat mengindikasikan permasalahan psikologis yang lebih serius.

Jika kebiasaan ini sudah lama dilakukan atau bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari, segera cari bantuan profesional di bidang kesehatan mental, seperti psikolog.

Hidup merupakan proses, dan seringkali seseorang perlu mengalami kegagalan dan merasa sakit sebelum melihat sejauh apakah kita sudah menjadi seseorang yang lebih baik.

Dengan mengizinkan diri untuk mengalami hal yang mungkin tidak menyenangkan maka hikmah dari pengalaman tersebut akan membentuk kita menjadi diri yang lebih baik.

*Meylisa Permata Sari, S.Psi., M.Sc., Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Denrich Suryadi, M.Psi., Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com