SEMENJAK tahun 2015, telah muncul komunitas-komunitas kebaya yang mengkampanyekan ‘kembali pada kebaya’ di ruang publik, media sosial, dan media massa. Akhir-akhir ini, gerakan tersebut populer dengan slogan Kebaya Goes to UNESCO yang mendukung pengajuan kebaya sebagai intangible cultural heritage atau warisan budaya tak benda ke UNESCO.
Di luar isu-isu yang mereka usung, gaya berkebaya anggota komunitas itu di ruang publik sesungguhnya tidak kalah menarik untuk kita perhatikan lebih lanjut. Pada era sebelumnya, pemakaian kebaya-kain umumnya terbatas untuk kegiatan formal, seperti acara kenegaraan, pernikahan, wisuda, upacara adat dan sejenisnya, dengan berpatokan pada pakem berkebaya klasik, yakni berkebaya-kain, bersanggul, berselendang, alas kaki berupa selop atau sepatu hak tinggi, tas kecil atau tas tangan.
Pada masa kini, para perempuan yang terlibat dalam gerakan berkebaya tidak semata memandang kebaya sebagai busana resmi dan busana pesta melainkan juga pakaian sehari-hari yang menekankan kenyamanan, kepraktisan, dan tidak menghambat gerak.
Baca juga: Komunitas Pencinta Kebaya Ingin Indonesia Ikut Joint Nomination UNESCO
Di tangan mereka, kebaya bertransformasi menjadi bagian dari street style; aliran gaya berpakaian yang diproduksi di ruang terbuka, salah satunya jalanan, yang menekankan pada ‘inovasi’ dan ‘kreativitas’ yang personal dari para pemakainya, tidak dominannya campur tangan desainer, serta merupakan persilangan antara produk massal, tren dan lokasi. - (Woodward S, The Myth of Street Style. Fashion: Theory of Dress, Body Culture, 2009)
Street style tidak hanya berpatokan pada ruang publik terbuka secara lokasi fisik di mana penggunanya biasa berkumpul tetapi juga relasi sosial yang terjalin di antara mereka. Street style turut menggambarkan gaya fashion di jalanan yang unik dan kreatif sesuai karakter penggunanya dan identitas diri yang ingin ditampilkan. - (Kompas.com, Mengenal Street Style ala Citayam Fashion Week yang Juga Viral di Negara Lain, 2022)
Kemunculan street style umumnya diprakarsai anak muda, seperti harajuku yang tumbuh tahun 1980-an didorong oleh kemunduran ekonomi yang berdampak pada perubahan nilai-nilai di Jepang terutama di kalangan remaja yang kemudian menyalurkannya melalui revolusi street style yang inovatif dan kreatif sebagai identitas personal. -(Anggraini C, Memakai, Harajuku Style: Style Brand-brand lokal dan Street Style di Jepang, Lensa Budaya, 2018)
Begitu juga dengan fashion punk yang terinspirasi dari gerakan di Inggris oleh kaum muda sebagai fenomena ideologis yang menyerang nilai-nilai estetis kelas dominan dan simbol kapitalisme melalui tampilan kalung rantai, tas gombrang, pakaian rongsok yang murahan dan vulgar. - Barnard M Fashion sebagai Komunikasi, diterjemahkan Idy Subandy Ibrahim dan Yosal Iriantara, Yogyakarta, 2011)
Sementara itu, gaya berkebaya street style justru diprakarsai oleh kaum ibu (perempuan usia dewasa sampai paruh baya) dalam tataran ideologi yang lebih kompleks yakni keprihatinan tergerusnya eksistensi kebaya sebagai busana nasional akibat dominasi budaya luar, pentingnya jati diri bangsa, mengingatkan peran perempuan sebagai penjaga tradisi, juga aktualisasi perempuan yang tidak hanya dalam ranah domestik tetapi juga publik.
Namun, mereka tetap mengutamakan personalitas gaya berkebaya yang dilihat dari beberapa elemen yakni tata rambut, milineries dan bahan kebaya. Pemakaian alas kaki tidak lagi dibatasi selop dan sepatu hak tinggi, melainkan diperluas menjadi sneakers dan ankle boots.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.