Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Pada dasarnya, semua orang kerap cemas sebab ini adalah reaksi normal untuk menghadapi situasi yang membuat kita tertekan. Terkadang, kita juga perlu untuk menyamarkan tekanan itu jika berada di situasi tertentu.
Misalnya, rekan kantor atau teman kuliah tetap berpakaian rapi, tersenyum, hingga menunjukkan sikap ramah saat kita bertemu. Namun, siapa tahu jauh di dalam, mereka sedang menghadapi masalah berat yang membuatnya tertekan.
Fenomena yang ternyata dikenal sebagai duck syndrome itu pun dijelaskan Ernestine Oktaviana S.Psi, Konselor Dear Astrid, dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Istilah Duck Syndrome Gen Z” yang dapat diakses melalui dik.si/AJDuckSyndrome.
Sindrom ini terjadi ketika kita menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, tapi sebenarnya sedang tertekan di dalam untuk mempertahankan semuanya.
Penamaan istilah ini berasal dari gagasan tentang bebek yang mengayuh dengan cepat di bawah permukaan air, tetapi tampak tenang di permukaan.
Mengutip Psych Central, meski duck syndrome, bukanlah kondisi kesehatan mental, namun sindrom ini dapat menjadi tanda bahwa seseorang sedang mengalami kekalutan mental.
Orang tersebut berusaha mencari solusi supaya tetap stabil fisik dan mentalnya. Namun, ketika berhadapan dengan orang-orang, ia tak memperlihatkannya.
Baca juga: Pentingnya Mengontrol Ekspektasi Diri
Istilah sindrom ini pertama kali dikenalkan di Universitas Stanford karena mayoritas penderitanya adalah kalangan mahasiswa.
Meski mereka tertekan menghadapi segudang tugas dan ujian, saat berada di kelas, para mahasiswa tetap berpenampilan rapi. Namun, kini istilah ini tak terbatas hanya di mahasiswa saja.
Ada banyak penyebab seseorang menderita sindrom ini. Pertama adalah perasaan cemas saat orang-orang tahu kehidupan kita yang tak sempurna.
Hal ini disebabkan orang tersebut merasa tidak ada yang bisa memahami atau pernah mengalami kejadian buruk, seperti di-bully.
Kedua, penelitian Dewi (2021) mengungkapkan penyebab lainnya penderita sindrom ini adalah dipaksa oleh lingkungan untuk selalu adaptif dan responsif menghadapi berbagai situasi.
Situasi yang penuh tekanan, persaingan, dan konflik, membuat seseorang harus bertindak untuk segera mencari solusi.
Misalnya, saat anak tak menunjukkan hasil yang memuaskan, orangtua cenderung menekan mereka untuk bekerja lebih giat. Jika nilai ujiannya jelek, orangtua memaksa anak untuk belajar lebih keras lain. Apabila ingin mengeluh, orangtua cenderung akan memukul atau melontarkan kalimat kasar ke anak.
Baca juga: Mengenal 5 Love Language