KOMPAS.com - Hewan pengerat khususnya tikus sering menjadi objek penelitian dalam uji laboratorium di berbagai penelitian biomedis.
Mulai dari eksperimen, efek kandungan tertentu, kelinci percobaan, memantau kondisi fisik hingga perilaku hewan kerap menggunakan tikus sebagai objek utama.
Meski penelitian pada tikus ini terus memicu perdebatan terkait kesejahteraan hewan, tapi dampaknya cukup besar karena hampir semua penelitian itu bertujuan untuk ilmu pengetahuan dan kesejahteraan manusia.
Lantas, mengapa para peneliti sering menggunakan tikus sebagai kelinci percobaan untuk uji laboratorium?
Baca juga: 8 Fakta dan Mitos Unik Mengenai Tikus
Penggunaan tikus sebagai objek penelitian biomedis sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu, sekitar 150 tahun lalu.
Penelitian yang melibatkan tikus di laboratorium hingga saat ini menghasilkan pencapaian ilmiah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Melansir laman Kentscientific, berikut beberapa alasan tikus menjadi objek penelitian biomedis paling favorit.
Salah satu alasan utama mengapa tikus kerap menjadi objek penelitian pertama karena antara tikus dan manusia itu memiliki banyak keterkaitan, terutama dalam hal kesamaan anatomi, genetik dan fisiologis.
Terutama pada jenis tikus liar Norwegia atau Rattus norvegicus, yang menjadi kandidat paling sempurna untuk menjadi objek penelitian biomedis.
Tikus Norwegia termasuk tikus yang paling umum digunakan untuk penelitian.
Sejak pertama kali diuji coba, hasilnya kemudian bisa dikembangkan untuk pencapaian ilmiah yang bermanfaat bagi manusia.
Spesies tikus yang satu ini memiliki penyebutan nama yang beragam di sejumlah negara.
Beberapa di antaranya ada yang menyebut tikus Hannover, tikus biasa, tikus jalanan, hingga tikus dermaga.
Baca juga: 8 Cara Mudah Mencegah Tikus Masuk ke Rumah
Secara luas, tikus dianggap sebagai mamalia paling awal yang didomestikasi untuk tujuan penelitian.