Tradisionalisasi perempuan melalui pakaian sebagaimana yang kita lihat saat ini telah berjalan semenjak pascakolonial. Henk Schulte Nordholt (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005) menyebut kaum perempuan Indonesia cenderung memakai pakaian bergaya tradisional sebagai sebuah simbol kebudayaan yang sifatnya otentik dan menggambarkan sikap pasif sekaligus subordinasi.
Sementara kaum laki-laki memakai setelan bergaya Barat yang mewakili ruang kekuasaan, kemajuan dan modernitas.
Kees Van Dijk (2005) melihat simbol nasionalisme laki-laki Indonesia bukan pada pakaian melainkan dalam bentuk peci, seperti digambarkan dalam sosok Soekarno. Sedangkan Soeharto memilih setelan Barat, celana dan kemeja batik atau setelan safari.
Perdebatan mengenai benar-tidaknya tradisi berkebaya berelasi dengan subordinasi dan domestikasi perempuan sesungguhnya masih belum usai. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kaum perempuan Indonesia memiliki kontribusi yang signifikan dalam menjalankan pewarisan tradisi dari generasi ke generasi.
Kita dapat melihat besarnya pengaruh ibu dan nenek kepada anak/cucu perempuan terhadap tata cara berbusana. Penulis mengambil contoh kisah Mien Uno (Kebayaku, 2014) yang ingatan masa kecilnya mendasari kecintaannya akan kebaya.
Baca juga: Kebaya Goes to UNESCO, Kebaya Goes to Street Style
“Masih kuat terpatri dalam ingatan saya sejak berusia lima tahun, saya selalu memandang busana yang dikenakan oleh Siti Koersilah, Ibunda tercinta, yang terlihat selalu berbeda… Begitu kuatnya karakter kebaya yang dikenakan Ibu, ditambah kekaguman dan kecintaan saya pada beliau, membuat memori alam bawah sadar saya terus dipupuk oleh keindahan kebaya,” begitu kisah Mien Uno.
Sita Suryawati (Kebaya Melintasi Masa, 2021) memaparkan pengaruh lingkungan di mana dia lahir dan dibesarkan sehingga dirinya merasa tradisi berkebaya yang merupakan warisan leluhur menjadi tanggung jawabnya kepada anak-anaknya.
“Tentu saja, aku ingin mereka mengagumi dan mencintai kebaya sebagaimana keturunan ibu, eyang, eyang buyut dan semua leluhurnya. Seperti halnya aku mengagumi Ibu dan Eyangku ketika memakai kebaya, kain dan bersanggul Jawa, tampak ayu, anggun, luwes dan ramping,” tulis Sita.
Pewarisan tradisi berpakaian adat/daerah dalam beberapa tahun ini mulai melibatkan negara dengan diterbitkannya peraturan daerah yang mengimbau ataupun mewajibkan aparatur negara dan anak-anak sekolah mengenakan pakaian adat/daerah untuk beberapa kegiatan, misalnya satu kali dalam seminggu dan hari-hari besar tertentu. Melalui peraturan ini, eksistensi dan kelestarian busana nasional dan pakaian adat/daerah Indonesia diharapkan tidak hanya dikenal melalui peran dan kepedulian kaum perempuan semata tetapi juga kaum laki-laki dalam konteks pewarisan dari generasi ke generasi.
Apabila tradisi berpakaian di Indonesia tidak dirawat, tidak dilestarikan, dan tidak dipakai oleh masyarakat pemiliknya, suatu hari tradisi itu berpotensi akan lenyap, bahkan bisa jadi beralih menjadi milik masyarakat/bangsa lain.
Keutamaan busana nasional/pakaian adat/daerah sebagai identitas dan jati diri sebuah bangsa/etnis tampak dari kalimat berikut, “Pakaian berperan sebagai pajangan budaya (cultural display) karena hal itu mengomunikasikan afiliasi budaya kita.” - Desmond Morris dalam Manwacthing: A Field Guide to Human Behaviour (1977).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.