Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Tiga Kecerdasan Utama untuk Pemimpin di Era Ketidakpastian

Kompas.com - 24/01/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Albert Einstein mengatakan, “The measure of intelligence is the ability to change.” Pernyataan Einstein memiliki makna penting yang menunjukkan bagaimana kinerja seorang pemimpin diukur.

Adaptabilitas menjadi ukuran apakah kita adalah seorang pemimpin yang baik atau justru menjerumuskan organisasi kita ke dalam kegagalan. Dengan zaman yang terus berubah, kecerdasan ini semakin relevan.

Pemimpin yang tidak mampu beradaptasi akan tenggelam oleh zaman. Banyak organisasi yang sudah pernah merasakan itu, seperti Kodak, Nokia, Toys R Us. Salah satu alasan kuat perusahaan-perusahaan ini bangkrut adalah karena tidak menyadari bahwa zaman berubah, sehingga tidak adaptif dalam merespon perubahan dengan baik.

Karena itu, kemampuan untuk beradaptasi sangat diperlukan. Banyak riset yang menyetujui hal itu. Riset Catalyst tahun 2022 menemukan, adaptabilitas menjadi kemampuan penting untuk mempertahankan karyawan.

Harvard Business Review tahun 2020 juga menemukan bahwa 71 persen dari 1.500 eksekutif di lebih dari 90 negara mengatakan kualitas adaptif adalah kemampuan yang eksekutif cari di dalam seorang pemimpin. Ketika menilai kecerdasan adaptif para leader, Covid-19 merupakan ujian sempurna untuk para pemimpin.

Adanya pelarangan buat beraktivitas di luar membuat pemimpin harus beradaptasi dengan berubahnya pola komunikasi: dari luring ke daring. Kita perlu belajar lagi bagaimana etika berkomunikasi di zoom, membaca mimik wajah, mendeteksi intonasi tertentu, berkoordinasi dengan efektif, dan menjalankan lini bisnisnya di tengah pandemi.

Dua survei ini cukup menggambarkan bagaimana kecerdasan adaptabilitas seorang pemimpin di masa Covid-19. BCG tahun 2020 melakukan survei tentang bagaimana Covid-19 mengubah operasional bisnisnya. Hanya 38 persen perusahaan yang mengubah rencana investasinya untuk menargetkan pertumbuhan baru. Selain itu, hanya 21 persen yang melakukan investasi pada model bisnis baru.

Pada tahun berikutnya, Krammer (2021) melakukan survei terhadap 11.000 perusahaan di 28 negara untuk mengukur tingkat adaptifnya terhadap Covid-19. Dia mendapatkan dua hasil yang menarik: 1) perusahaan yang lebih muda dan yang mengandalkan sumber pengetahuan internal lebih mungkin beradaptasi dengan Covid-19; dan 2) perusahaan dengan praktik manajemen yang baik lebih mungkin beradaptasi terhadap krisis.

Apa yang bisa kita dapat dari berbagai riset di atas? Pemimpin yang adaptif cenderung lebih peka terhadap dampak dari sebuah perubahan. Alhasil, ketika ia merasa dinamika di lingkungan eksternal berpotensi menganggu operasinya, ia akan melakukan pivot.

Survei BCG menggambarkan itu, di mana perusahaan yang melakukan perubahan punya kecerdasan adaptabilitas yang besar. Selain itu, pemimpin dengan kecerdasan adaptabilitas yang tinggi adalah seorang inovator.

Ia tidak hanya mengubah cara operasi organisasinya, melainkan menggali potensi-potensi pendapatan baru. Dengan cara inilah, pemimpin bisa mengarungi zaman dan tetap relevan dengan masyarakat.

Mungkin ia juga belajar dari cara perusahaan di zaman dahulu mengalami kebangkrutan, sehingga tidak ingin organisasinya bernasib sama. Di saat perusahaan-perusahaan melakukan pivot, ada juga perusahaan yang mengalami kebangkrutan.

Kita mungkin familiar dengan Revlon, salah satu perusahaan kecantikan yang produknya disukai masyarakat. Tahun 2022, Revlon mengajukan perlindungan kebangkrutan kepada pemerintah Amerika Serikat. Apa yang menyebabkan Revlon bangkrut? Salah satu penyebabnya adalah Revlon kurang adaptif terhadap perubahan tren kecantikan konsumen.

CEO Revlon, Debra Perelman, secara implisit mengakui itu. Dilansir dari NPR, dia mengatakan, “Consumer demand for our products remains strong — people love our brands, and we continue to have a healthy market position. But our challenging capital structure has limited our ability to navigate macro-economic issues in order to meet this demand."

Dari kebangkrutan Revlon, kita belajar untuk menjadi pemimpin yang adaptif dalam segala situasi dengan mengatur finansial, memperbaharui produk, serta menciptakan produk baru. Tiga hal ini lumrah dilakukan perusahaan, namun hanya sedikit yang berani melakukannya karena tingkat ketidakpastiaan yang dialami.

Akan tetapi, justru inilah yang dilakukan oleh pemimpin dengan kecerdasan adaptabilitas yang tinggi.

Collaborative Intelligence

Kecerdasan kolaboratif terkait dengan pendekatan yang berusaha menyatukan berbagai orang untuk membagikan pengetahuan dan bekerja sama agar inovasi baru tercipta. Saya ingin memperluas sedikit pengertiannya dan melibatkan penggunaan teknologi, khususnya kecerdasan buatan. Seperti yang kita tahu, perkembangan kecerdasan buatan sangat cepat, yang mendisrupsi banyak sektor. Namun, kita tidak perlu memandang teknologi dengan sentimen buruk. Bahkan, kolaborasi antara manusia dan kecerdasan buatan bisa berdampak signifikan.

Baca juga: Absurditas Indeks Kecerdasan Negara

Shawn Harris, Direktur Senior Pengembangan Strategi dan Bisnis Turing AI, sebagaimana dikutip Forbes, mengatakan bahwa “Successful AI-human collaboration relies on each party’s ability to do what it does best.” Dengan begitu, kecerdasan kolaboratif adalah sebuah pendekatan yang dilakukan pemimpin untuk bekerja sama dengan aktor lain dan memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan inovasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com