Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Giokniwati
Trainer, Coach, Consultant. Founder of Elevasi Performa Insani (elevasi.id)

Perempuan yang memiliki kegairahan dalam mengelevasi sumber daya manusia sehingga lebih berdaya, berkinerja unggul, dan memiliki makna. Seorang pengamat kehidupan yang memetik buah inspirasi untuk dibagikan kepada orang lain melalui tulisan maupun sesi bicara.

Realisasikan Sukses Terlebih Dahulu di Pikiran

Kompas.com - 08/02/2023, 17:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

STEPHEN R. Covey-penulis Seven Habits for Highly Effective People mengatakan bahwa segala sesuatu diciptakan dua kali. Robin S. Sharma pun mengatakan hal yang sama.

Penciptaan pertama terjadi di pikiran, selanjutnya dalam realita yang berwujud. Orang tidak serta merta menumpuk batu atau memasang kayu dan memalukan paku untuk membuat rumah.

Rancangan di pikiran telah terjadi sebelumnya. Telah terjadi sebuah realita dalam dunia dalam. Pikiran.

Jika di pikiran kita menganggap “Ini pekerjaan boring banget”, akankah kita bersemangat? Jika di pikiran kita menganggap “Targetnya gila dan enggak masuk akal”, maka sikap kita cenderung apatis.

Jenis realita yang diciptakan dalam pikiran akan menentukan wujud nyatanya. Pemahaman ini akan membawa kita pada kesepakatan betapa pentingnya memberdayakan pikiran, menentukan jenis pikiran yang akan berdampak signifikan, kemudian mengunjunginya, melakukan kurasi dan membuat penyesuaian yang diinginkan.

Ada lima jenis pikiran yang tidak dapat dianggap remeh karena perannya yang sangat penting. Jika pikiran ini tidak berperan, maka akan berdampak pada wujud nyata realita dari impian atau target kita.

1. “I Can Do Whatever I Need To Do”

Pernahkah di pikiran kita muncul keragu-raguan, semakin besar keraguan itu, bahkan ada suara yang berbisik di belakang leher kita, “Memang kamu enggak bakal bisa, Sis, apalagi ini hal baru bagimu.” Atau “Bicara di depan umum itu kan, bukan kepandaianmu.”

Pikiran ini “diberi makan” sehingga semakin sehat dan kuat, lalu kita pun menjadi tidak berhasil melakukannya, gugup berbicara.

Si suara di dunia internal kita mulai bersorak kegirangan karena prediksinya tepat, menegaskan dengan dua kata mantap, “Tuh, kan!” Menyeringai, meledek.

Selanjutnya, kita menjadi tidak pernah mencoba hal baru dan tidak pernah mau mengambil kesempatan berbicara di depan umum.

Kita dapat menyesuaikan pikiran kita dengan keyakinan yang kita pegang. Makhluk yang terkategori dalam manusia dikaruniai benih kebesaran untuk melakukan hal baik yang berfaedah.

Jika memang itu hal baik dan berfaedah, maukah kita meminta pada Sang Pencipta untuk mengokohkan kemampuan dalam diri?

Ada pula keyakinan yang dapat dibangun, misalnya, “Perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama. Jadi, memang ini hal baru bagiku, langkah awalku, jadi tidak apa-apa juga jika belum sempurna.”

2. “God Loves Me Unconditionally”

Banyak kasus saya temui dari keterhambatan seseorang karena kegagalan menerima keberhargaan diri. Penghambat tidak ada di luar, tapi cara memandang diri sendiri.

Ada berapa banyak ramalan buruk tentang diri yang dipercayai? Ada berapa banyak kegagalan masa lalu yang masih membebani, atau kekeliruan diri yang tidak pernah dimaafkan, padahal konsekuensi telah dijalani?

Tuhan—Sang Pencipta manusia selalu mencintai manusia tanpa syarat. Rendah hatilah menerima cinta-Nya, pengampunan-Nya sehingga ada damai untuk menerima diri sendiri yang tidak sempurna.

Beberapa opsi penyesuaian yang dapat dilakukan antara lain:

“Manusia tidak sempurna, kadang berbuat keliru dan saya mengakuinya, menerima konsekuensinya, dan saya punya kesempatan memperbaikinya.”

“Meskipun saya pernah melakukan yang kurang baik di masa lalu, tapi selalu ada pintu pertobatan, dan saya izinkan proses pembentukan diri menjadi lebih baik.”

“Tuhan Maha Kasih, dia menerima diri saya apa adanya.”

“Aku menerima diriku yang tidak sempurna, dalam ketidaksempurnaan ini akan ada ketekunan dan kebaikan.”

3. “I Will Not Live in Fear”

Ada yang membuat kepanjangan FEAR adalah False Evidence Apprearing Real. Ketakutan itu semu, karena ketakutan itu bukan bukti yang sesungguhnya, bukan realita nyata. Sekali lagi, berarti fear atau ketakutan itu bercokolnya di pikiran.

Manusia tidak boleh takut? Sesat ini.

Takut itu emosi, boleh, bahkan takut merupakan mekanisme perlindungan diri. Saat hiking melihat ular kobra di antara rerumputan akan memunculkan rasa takut. Pikiran ini sehat.

Takut ini sebuah emosi yang mampu memicu otak untuk mencari cara serta menghadirkan rasa waspada terhadap bahaya.

Yang tidak sehat adalah hidup dalam ketakutan, dikuasai ketakutan. Dikuasai berarti kendalinya sudah terlepas dari diri kita. Dikuasai ketakutan merebut fakta dan logika.

Dokter Caroline Leaf mengatakan 75 persen-90 persen penyebab penyakit adalah rasa takut, stres berlebihan.

Banyak pula fakta kematian yang terjadi dipicu oleh psikosomatis, meraksasakan fakta medis yang kurang baik.

Dikuasai kekuatiran berlebih, ketakutan mampu memengaruhi fisik dan kimiawi tubuh. Terbukti betapa pentingnya peran pikiran.

Benar adanya “hati yang gembira adalah obat yang manjur”. Oleh karena itu di Wisma Atlet-tempat karantina pasien Covid-19 waktu itu menyelenggarakan banyak kegiatan yang menggembirakan agar pikiran pasien tidak dikuasai ketakutan. Senam bersama, menyanyi, berjoget.

Dalam jargon sehari-hari, dikuasai ketakutan ini sering disebut dengan insecure. Perilaku yang terwujud dari pribadi yang insecure tentu tidak positif, tidak memberdayakan.

Ketakutan dalam hidup biasanya terkategori dalam tiga hal, yaitu tentang identitas diri (being), kemampuan dan kapasitas (doing), kepemilikan (having).

4. “I Love People”

Hei, kita hidup di dunia dengan orang-orang di sekitar. Interaksi dengan manusia adalah keseharian kita.

Sangatlah krusial untuk memeriksa bagaimana cara pandang terhadap orang lain. Stakeholder, pihak yang berkepentingan dengan kegiatan sehari-hari, dianggap seperti apakah mereka?

Suami atau isteri adalah …
Anak adalah …
Pelanggan adalah …
Pemasok adalah …
Anak buah adalah …

Jika dilandasi dengan “I love people” maka yang akan muncul adalah perilaku berkomitmen, pengasuhan yang baik, pemenuhan kebutuhan, layanan unggul, win-win solution, pengembangan.

5. “I am Content”

Pikiran berkecukupan bahkan berkelimpahan akan menjadi energi positif dalam menjalani hidup. Bukan berarti tidak punya target atau mimpi.

Mengutip pernyataan dari pasangan pengusaha di bidang service industry, Bapak Bastiaan dan Ibu Juni Rambie,“Saat merasa content, ada rasa cukup, jadi bersyukur, maka kita mampu melihat sekeliling dan bertanya,'What can I do? What other value can I give.'"

Content itu membuat kita mampu menikmati perjalanan menuju goal besar kita.

Kunjungi, rawatlah kelima pikiran di atas, kesuksesan yang membahagiakan tercipta dalam pikiran dan selanjutnya dalam realita nyata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com