Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai

Kompas.com - 28/02/2023, 12:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hari gizi nasional tahun ini, diperingati dengan menggarisbawahi konsumsi protein hewani, khususnya pada periode emas tumbuh kembang.

Dengan demikian, perkenalan pertama seorang bayi makan di usia 6 bulan dimulai dengan Makanan Pendamping ASI (MPASI) lengkap yang komposisinya ada protein hewani.

Menu tunggal atau yang saat zaman dahulu dikenal dengan ‘perkenalan’ pisang lumat atau bubur susu, telah jauh ketinggalan jaman, menyisakan bayi-bayi anemia karena justru di usia 6 bulan cadangan zat besinya sudah nyaris habis.

Baca juga: Pangan Asli yang Terinvasi

Kebutuhan zat besi bayi 6-11 bulan sebanyak 11 mg per harinya butuh dipenuhi dan dikejar dengan asupan protein hewani yang mumpuni. Sebab, anemia adalah salah satu kontributor hambatan tumbuh kembang, selain memberi nafsu makan yang buruk.

Menyiasati asupan protein hewani sebagai salah satu sumber zat besi terbaik (karena jenis senyawanya adalah ‘heme’, yang lebih mudah diserap tubuh) dibanding protein nabati (yang jenis senyawa zat besinya ‘non heme’ yang hanya bisa diserap kurang dari 20%), merupakan tantangan tersendiri di negri ini.

Kuatnya mitos dalam pemberian makan bayi dan anak, amat memengaruhi keputusan orangtua dan ‘kepercayaan’ yang selama ini mengikat masyarakat.

Anehnya, hati ayam sebagai sumber zat besi hewani yang terbaik (terdapat 15.8 mg zat besi per 100 gram hati ayam) dituding sebagai organ stok racun, jerohan tinggi kolesterol, dan masih banyak serangan bertubi-tubi, sehingga ibu-ibu muda lebih memilih ‘jalan ninja’ masing-masing dengan informasi yang bersliweran di media sosial.

Alhasil, terjadi perubahan masif bubur bayi masa kini dibanding saat kita kecil dahulu yang sesederhana ulekan bubur dengan hati ayam, wortel dan bayam.

Dan anak-anak yang tumbuh di zaman itu baik-baik saja. Tidak ada yang keracunan, apalagi menderita kolesterol tinggi di usia dini.

Miskin Literasi Jadi Kesempatan Pemasaran Susu Makin Berani

Sementara ibu-ibu masa kini justru merasa bersalah jika tidak mampu membeli salmon, unsalted butter atau ‘keju bayi’, sebagaimana panduan media sosial yang semakin mengerikan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com