Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai

Kompas.com - 28/02/2023, 12:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Padahal republik ini punya Undang-undang no.36/2009 pasal 200 dan 201 yang jelas-jelas menyatakan, bahwa siapa pun yang dengan sengaja menghalangi program ASI eksklusif bisa dianggap tindak pidana dengan kurungan 1 tahun atau denda seratus juta rupiah.

Begitu pula Peraturan Pemerintah no.33/2012, Permenkes no.15/2014 memberi peringatan keras tentang larangan tenaga kesehatan mempromosikan susu formula, bahkan wajib melakukan inisiasi menyusui dini terhadap bayi baru lahir.

Bahkan, Permenkes yang sama juga memberi aturan jelas bagi produsen dan distributor sufor atau susu formula yang salah satunya tidak boleh memberikan hadiah, bantuan kepada nakes apalagi contoh gratis produk, menawarkan dan menjual langsung sufor ke rumah-rumah.

Jika uraian di atas cukup mengagetkan, maka artinya selama ini terjadi pembiaran masif dan elaborasi produk perdagangan yang ‘overclaim’, sebagaimana disebut dalam dokumen WHO: World Health Assembly Resolution on the Inappropriate Promotion of Foods for Infants bulan November 2016.

Kalimat-kalimat iklan yang secara tidak langsung menimbulkan asumsi seakan produk tersebut meningkatkan kesehatan anak atau performa intelektual, misalnya.

Baca juga: Bukan Makanannya yang Harus Diinovasi, tapi Cara Penyampaian Pesannya

Susu Bukan Asupan Istimewa

Sudah sejak zaman penjajahan, susu dan turunannya dianggap asupan ‘berkelas’. Sekalipun slogan 4 sehat 5 sempurna sudah dihapuskan resmi dengan Permenkes no. 41/2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang, selalu saja masih ada yang menggunakan ketidaktahuan publik sebagai kesempatan promosi.

Dalam Permenkes tersebut, posisi susu sama saja seperti protein hewan lainnya. Tidak perlu diistimewakan, apalagi menyempurnakan gizi.

Iklan layanan masyarakat yang terlalu sedikit dibandingkan iklan produk yang teramat masif membuat pemahaman yang tidak objektif di masyarakat.

Apalagi jika nakes terlibat di dalamnya, menyitir yang katanya hasil studi – sementara studinya tidak bebas kepentingan alias mendapat pendanaan, bantuan, sponsor industri yang punya kepentingan.

Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?

Bukan rahasia umum lagi, studi sahih membutuhkan dana tidak sedikit, dari ratusan juta rupiah hingga hitungan miliar. Sementara penghasilan pribadi nakes mustahil menjadi bagian ‘darma bakti’ akademisi.

Akibat dari pengandaian superlatif kedudukan susu, alhasil para orangtua yang anaknya punya masalah makan (termasuk perilaku) akan beralih ke susu – yang semakin membuat anaknya tidak makan.

Sementara dengan posisinya sebagai produk industri, tentu tak terelakkan mempunyai ‘kasta’. Bagi yang aktif di media sosial khususnya yang memerhatikan isu tumbuh kembang anak, ‘perang pamer sufor’ telah menjadi amat mengerikan.

Bahkan tak jarang ibu-ibu menjadi ‘sales terselubung’ dengan bangganya mengunggah susu yang diminum anak-anaknya.

Susu bukannya tidak menimbulkan masalah secara fisik. Di asia tenggara, intoleransi laktosa menempati peringkat atas: lebih dari 80% populasi rentan diare dan tidak mampu mencerna susu hewan.

Bayi-bayi yang tidak mendapatkan air susu ibunya dan diganti produk susu hewan, justru menjadi tidak tumbuh dengan baik apalagi jika alergi hingga tinja berdarah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com