Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai

Kompas.com - 28/02/2023, 12:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jadi alih-alih menjadi sumber pangan yang menyehatkan, susu bisa menjadi biang keladi masalah kesehatan.

Akhirnya teknologi campur tangan: dengan harga fantastis tentu saja, muncul aneka produk rendah laktosa bahkan susu dengan ‘protein terhidrolisa parsial’.

Baca juga: Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?

Susu Formula Ditujukan untuk Indikasi Khusus

Tulisan di atas tidak boleh menyudutkan penulis sebagai ‘manusia anti susu’. Susu formula, sesuai dengan namanya, tentu diformulasikan untuk tujuan-tujuan khusus.

Yang sering disebut sebagai ‘indikasi’. Bayi dengan kelainan enzim, ibu yang mengonsumsi obat-obatan tertentu, adalah contoh situasi dimana sufor menjadi salah satu pilihan.

Yang pasti, sufor bukan indikasi untuk manajemen laktasi yang buruk atau ketidaktahuan ibu akan perlekatan yang benar sehingga bayinya tidak menyusu optimal.

Dengan pemahaman sempit tentang susu, tak jarang orangtua yang merasa terpojok karena kelihatan ‘kampungan’ dengan anaknya yang masih menetek – beralih ke cairan kental manis – yang mirip susu orang-orang kaya itu.

Anak akan semakin terjerat kecanduan asupan tinggi gula yang mengakibatkan masalah di kemudian hari.

Dan lebih mengerikan lagi, anak gemuk akibat pola konsumsi yang salah, malah jadi kebanggaan orangtuanya.

Ini semua adalah awal rentetan penyakit kronik yang jadi beban masa depan dan anjloknya kualitas manusia di masa (yang semestinya) bonus demografi.

Anak yang telah mulai makan, perlu mendapat sumber bahan pangan yang diolah dengan tekstur, jumlah dan frekuensi pemberian yang tepat sebagai makanan pendamping ASI.

Baca juga: Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Anak yang sulit makan dengan kekhawatiran berat badan terjun bebas dan tinggi badan mulai stagnan perlu dievaluasi cara pemberian makannya selain ditelusuri penyebab fisik yang mungkin melatarbelakangi (sedang sakit, anemia, tumbuh gigi, belum buang air besar, dsb).

Betapa sedihnya, peternak telur dan ayam tidak didukung iklan, penangkap ikan tidak diberi semangat agar hasil tangkapannya tetap segar sampai ke tangan konsumen agar anak-anak mendapat gizi cukup bebas stunting.

Padahal, telur adalah menyumbang protein paling tinggi dengan harga yang sama dibanding sumber protein lainnya. Padahal, ikan adalah protein hewani yang kaya asam lemak yang mencerdaskan otak. Dari kekayaan tanah air sendiri.

Sementara sebagai produk yang rentan tingkatan kasta, kementerian perindustrian kita mengakui sebagian besar bahan baku industri olahan susu dipasok dari negri orang alias impor. Jadi, buat saya, susu cukuplah jadi pilihan, tanpa perlu dipromosikan.

Baca juga: Saatnya Benahi, Sehat Sesuai Studi Berbasis Bukti atau Jurus Testimoni?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com