Sebagai contoh dalam pengungkapan rasa terimakasih kita sering menyertakan bentuk sifat setinggi-tingginya atau sedalam-dalamnya; hal ini menunjukkan intensitas dan densitas apresiasi.
Ketika individu berdoa tentu ada yang berdoa dengan khusyuk, ada pula yang berdoa sekadar ritual belaka; hal ini membedakan intensitas (kekuatan) doa.
Masalahnya kondisi ini amat sulit diobservasi secara eksternal dan hanya mampu disadari oleh individu yang bersangkutan.
Jadi, fungsi kesadaran individu lah yang menjadi determinan (penentu) apakah ia sering (frekuensi) bersyukur, apakah rasa syukurnya bersifat sungguh-sungguh (intensitas), apakah rasa syukurnya disertai keyakinan yang tebal (densitas), dan apakah ia telah lama melakukan hal tersebut atau baru-baru ini saja (durasi).
Sebaliknya mereka yang tidak mengapresiasi pengalaman hidup artinya tidak bersyukur (non-gratuiting).
Kedua hal tersebut di atas (ketidakberdayaan dan kebersyukuran) memiliki kontribusi besar pada munculnya pengalaman distress.
Penelitian yang berlangsung atas 210 mahasiswa usia 18-25 tahun (155 perempuan dan 55 laki-laki) dengan menggunakan kuesioner Distress Psikologi (K10), ketidakberdayaan atau hopelessness (BHS), dan kebersyukuran atau gratitude (GQ-6) menunjang hipotesa bahwa semakin tinggi ketidakberdayaan semakin tinggi distress psikologis, sebaliknya semakin tinggi kebersyukuran semakin rendah distress psikologis.
Adapun tiga masalah utama distress mereka adalah pendidikan (28 persen), keluarga (21 persen), dan keuangan (17 persen).
Masalah pekerjaan menempati urutan ke 4 sebesar 15 persen. Hal ini tampaknya berlaku bagi mereka yang kuliah sambil bekerja.
Adalah penting untuk dicermati lebih lanjut bahwa kebersyukuran tidak hanya berpotensi mengurangi distress, tetapi juga berpotensi menurunkan emosi negatif secara umum. Emosi negatif misalnya kesal, muak, dan benci.
Sebaliknya, rasa syukur turut berkontribusi dalam meningkatkan kebahagiaan, kesejahteraan, harga diri, sikap optimistis, serta kesediaan untuk membantu orang lain.
Jadi, kebersyukuran analog dengan penawar tekanan psikologis kehidupan. Lalu bagaimana penawar ini bisa berfungsi dengan baik, tentunya melalui kesadaran individu untuk sering mensyukuri kehidupan secara sungguh-sungguh dan dengan penuh keyakinan, bukan sekadar ritual ucapan atau tindakan.
Seperti halnya obat medis membutuhkan waktu dalam proses penyembuhan rasa sakit, kebersyukuran juga membutuhkan waktu (durasi) untuk menjadi penawar beban psikologis; dan dalam berproses ini tentunya membutuhkan kesabaran.
Akhirnya perlu kita sadari bersama bahwa ketidakberdayaan merupakan hal yang tidak berguna karena tidak memiliki potensi apapun untuk mengubah distress.
Hal yang tidak berguna sebaiknya dibuang atau diabaikan saja. Sebaliknya, kebersyukuran memiliki potensi membantu mengatasi distress, walaupun adakalanya membutuhkan waktu agak lama untuk bisa membuahkan hasil.
Oleh karena itu, syukurilah berbagai hal yang telah kita dapati, dan bersabarlah agar berbagai hal lainnya tidak menjadi beban berarti dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan.
*Frida Condinata (Mahasiswa Magister Psikologi Profesi UNTAR)
Dr. Monty P.Satiadarma (Dosen Fakultas Psikologi UNTAR)
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.