Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Sebagai manusia, kita tak terlepas dari yang namanya gengsi. Biasanya, perasaan ini muncul ketika ada hal yang bertentangan dengan prinsip diri. Alhasil, kita menutupinya karena merasa malu.
Buntut dari gengsi adalah perasaan menyesal karena orang yang gengsian enggan mengatakan kata hatinya. Kita lebih mengedepankan ego hingga akhirnya apa yang di depan mata telah hilang terlebih dahulu. Dari situlah, kita jadi menyesal.
Seperti monolog singkat dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Dan, Selesai” dengan tautan akses dik.si/AnyJiwSelesai. Diceritakan ada seorang laki-laki yang akhirnya menyesal karena ia merasa gengsi untuk mengungkapkannya. Lantas, bagaimana nasib ia selanjutnya?
Ternyata, sering menjadi orang yang gengsian juga memberikan dampak buruk pada diri kita. Apa sajakah dampak tersebut?
Dalam nesslabs, gengsi bisa mengubah suasana hati karena apa yang kita lakukan bertentangan dengan hati atau pikiran. Misalnya, suatu saat, kita ditraktir pizza oleh teman. kita senang makan pizza, namun karena gengsi untuk terlihat rakus, kita mengurungkan niat untuk memakannya.
Baca juga: 3 Alasan Orang Tak Percaya pada Motivator
Akhirnya, kita pun melewatkan kesempatan itu untuk mendapat makanan kesukaan secara cuma-cuma. Padahal, pemikiran negatif itu hanya berasal dari pikiran kita dan bukan dari orang lain. Namun, karena takut dicap aneh-aneh, kita pun jadi gengsi.
Orang yang gengsian biasanya takut harga dirinya tercoreng. Apalagi, jika dihadapkan dengan kenyataan bahwa kita sedang berada di bawah. Hal ini disebabkan karena adanya pikiran bahwa kita harus selalu menjadi pribadi yang lebih unggul dari orang lain.
Biasanya, pemikiran ini dimiliki oleh orang dengan status sosial yang tinggi. Orang-orang seperti ini dipengaruhi pula oleh lingkungannya. Bayangkan saja, untuk bisa ikut pertemuan dengan sosialita lainnya, mereka harus memiliki setelan dari desainer ternama. Ini dilakukan untuk mempertahankan harga diri.
Selain itu, simbol status semacam itu dapat membantu mempertahankan hierarki sosial. Dr. Sabina Siebert dari Universitas Glasgow menemukan bahwa ketika menghadapi persaingan dari profesi lain, pengacara melindungi harga diri mereka dengan menggunakan simbol-simbol ‘elit’, seperti pakaian ternama untuk mempertahankan status superior mereka.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.