Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Menghadapi suatu tantangan tentu bukan hal yang mudah. Banyak orang yang akhirnya menyerah karena tak sanggup untuk menyelesaikannya. Keputusan ini pun terkadang berdampak pada kehidupan kita selanjutnya.
Menyerah memang tak selamanya buruk. Apalagi jika kita sudah berusaha maksimal namun hasilnya belum sesuai. Menyerah bisa berkonotasi negatif jika dalam menghadapi satu situasi, kita memilih mundur sebelum berjuang. Padahal, kita belum mencoba opsi lainnya.
Founder SOCIO Startup Indonesia, Fariliyn Danisya, siniar Obsesif bertajuk “Pentingnya Punya Mental Pantang Menyerah” dengan tautan akses dik.si/ObsesifFariliyin, mengaku pernah berada dalam fase ini.
Perempuan ini menceritakan proses ia terdampak layoff hingga akhirnya berkesempatan membangun SOCIO.
Bagi kita, menyerah bukanlah hal yang sulit. Hal ini terjadi karena otak sudah mengatur untuk melepaskan sesuatu yang tak cocok dengan kita. Jika tak ditangani dengan baik, keadaan sulit yang asing ini pun bisa berdampak pada diri. Secara otomatis, sebagai sistem pertahanan, otak memerintahkan kita untuk mengambil keputusan; menyerah.
Di sisi lain, dalam The Beauty In Being Significant, ada lima faktor yang menyebabkan manusia mudah menyerah.
Ini ditandai dengan ide-ide liar yang terus berputar di otak kita, namun sulit direalisasikan. Saat berproses untuk mencapai tujuan, kita memerlukan saran atau ide yang mudah dijangkau. Ini dilakukan agar kita bisa mengerjakannya sesuai porsi atau batas maksimal diri.
Baca juga: Fenomena Kesurupan: Mistis atau Medis?
Misalnya, kita ingin jadi pribadi yang sempurna dalam mengerjakan pekerjaan. Namun, terkadang realitas tak sesuai harapan karena setiap manusia pasti akan melakukan kesalahan. Saat ekspektasi itu runtuh, kita pun menyerah.
Misalnya, karena senang dengan bidang yang digeluti, kita pun senang saat diminta bantuan mengerjakan banyak proyek. Padahal, pekerjaan kita sendiri pun belum selesai. Tentu saja perilaku ini pun bisa meningkatkan risiko kelelahan dan kegagalan. Alhasil, kita jadi tak percaya diri dan mudah menyerah.
Greg McKeown, dalam bukunya Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less, menyarankan agar kita fokus pada hal-hal yang paling penting. Cara agar mengetahuinya dengan menuliskan sepuluh aktivitas yang perlu kita lakukan. Kemudian, kurasi menjadi lima dan kemudian tiga. Tiga yang tersisa itu adalah yang paling utama harus dikerjakan.
Ada banyak dari kita yang menganggap kegagalan sebagai akhir dari segalanya. Biasanya, pola pikir ini dimiliki oleh orang dengan pola asuh keras; jika gagal, ia akan diberi hukuman.
Baca juga: 3 Alasan Orang Tak Percaya pada Motivator
Kenyataannya, di dunia ini, ada banyak orang-orang sukses yang hidupnya berawal dari kegagalan. Ada banyak hal pula yang bisa dipelajari dari kegagalan jika kita mampu melihatnya dari perspektif lain. Dengan kegagalan, kita bisa belajar untuk memperbaiki diri agar tak jatuh ke lubang yang sama.
Mempertimbangkan pendapat orang lain adalah hal yang baik, namun kita tak boleh selalu bergantung pada mereka. Ditambah lagi, menaruh ekspektasi berlebihan mengenai pendapat mereka terhadap diri kita.
Padahal, kita tak bisa mengontrol bagaimana orang lain akan berkomentar. Pasti akan ada komentar negatif yang kita terima. Orang yang mengandalkan validasi cenderung akan lebih mudah menyerah karena komentar negatif itu adalah tanda keburukan.