Sebab, kata terima kasih menunjukkan kepada pasangan bahwa kita tidak meremehkannya.
Anggaplah ucapan terima kasih sebagai investasi yang sangat berisiko rendah dan sedikit usaha, namun dengan hasil yang tinggi.
Sebagian besar dari kita tidak pernah diajari cara meminta maaf dengan tepat.
Oleh sebab itu, kita mungkin sering membuat permintaan maaf yang tidak jelas, setengah hati, atau berpotensi menyebabkan lebih banyak kerugian.
Dalam bukunya berjudul Why Won't You Apologize: Healing Big Betrayals and Everyday Hurts, seorang psikolog klinis Harriet Lerner menuliskan bahwa permintaan maaf yang tepat dapat mengubah hubungan menjadi lebih baik.
Dia pun memberikan saran untuk meminta maaf dengan cara yang konstruktif mencakup langkah-langkah berikut:
• Jangan bersikap defensif. Jangan mendengarkan pasangan dengan tujuan untuk merespons atau menjelaskan diri sendiri, tetapi mendengarkan untuk memahaminya.
• Bersikaplah tulus dalam permintaan maaf dengan menunjukkan penyesalan yang tulus.
• Dalam permintaan maaf yang efektif, alasan kita tidak relevan. Tetaplah mengungkapkan penyesalan yang tulus, dan hindari alasan atau rasionalisasi.
Baca juga: Minim Komunikasi Seksual Bisa Picu Perselingkuhan, Benarkah?
• Sesuaikan ukuran permintaan maaf kita. Karena banyak dari kita yang meminta maaf secara berlebihan dengan memberikan kompensasi yang berlebihan.
Permintaan maaf haruslah mengenai orang yang kita mintai maaf dan perasaannya. Jadi, seharusnya kita tidak menempatkan pasangan pada posisi di mana dia sekarang mengurusi kehidupan emosional dan rasa bersalah kita.
• Terlepas dari apakah kita berbicara tentang permintaan maaf atau aspek lain dari hubungan, pada akhirnya yang terpenting adalah efek dari tindakan dan kata-kata kita, bukan niat kita.
Ketika meminta maaf, perhatikan apa yang kita minta maafkan dan pastikan untuk membahas dampaknya terhadap pasangan daripada berbicara tentang bagaimana kita bermaksud atau tidak bermaksud.
Hal yang menyembuhkan dari permintaan maaf adalah kemampuan kita untuk memahami emosi orang lain dan membuatnya merasa dilihat dan didengar.
Pada tahun 50-an dan 60-an, psikolog Amerika Harry Harlow terinspirasi oleh penelitian John Bowlby tentang pentingnya ikatan bayi dengan pengasuhnya.