Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Intensi Membeli Pakaian Bekas Pakai

Kompas.com - 24/03/2023, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mungkin ini telah menjawab sebagian karakteristik konsumen yang biasa membeli pakaian fesyen bekas pakai, selain tentu saja bagi mereka yang mengincar pakaian berharga rendah namun dengan tampilan yang trendi dan modis.

Selain itu, konsumen berpenghasilan tinggi juga tertarik membeli pakaian bekas untuk memenuhi kebutuhan mereka akan eksklusivitas. Terdapat model tertentu yang dianggap “vintage” dan menjadi daya tarik tertentu.

Belum lagi bagi sebagian kalangan muda yang menganggap membeli pakaian bekas sebagai wujud kepedulian mereka terhadap lingkungan dan kecintaan mereka terhadap pakaian “retro”.

Terbentuknya segmen pasar khusus ini telah menggairahkan pasar “second”. Diperkirakan penjualan pakaian bekas dapat mencapai hingga 80 miliar dollar AS pada tahun 2029 (Kian, Chee & Hui, 2021).

Industri pakaian bekas berkembang pesat karena peningkatan baik dari sisi penawaran dan permintaan. Konsumen termotivasi oleh harga barang bekas yang terjangkau sementara penjual dapat memperoleh keuntungan dengan menjual pakaian bekas (Armstrong dan Taman, 2020; Gopalakrishnan dan Matthews, 2018).

Biasanya, pakaian bekas bisa dibeli di berbagai tempat, termasuk toko konsinyasi, pasar loak, toko daring, dan toko barang bekas.

Intensi membeli

Menurut Roux dan Guiot (2008), intensi konsumen berbelanja barang bekas secara umum bisa dibagi menjadi dimensi ekonomi (harga murah) dan rekreasi (barang retro dan “vintage”).

Seo dan Kim (2019) menemukan bahwa niat konsumen untuk membeli pakaian bekas di toko barang bekas dipengaruhi sikap mereka terhadap mode bekas.

Hasil penelitian lain mengidentifikasi kontaminasi risiko, sensitivitas harga, dan ekspresi diri sebagai tiga faktor utama yang memengaruhi kaum muda mahasiswa untuk membeli pakaian bekas (Yan dan kawan-kawan, 2015).

Liang dan Xu (2018) mengungkapkan bahwa alasan konsumen di China membeli pakaian bekas berbeda-beda di berbagai generasi, seperti Post-60-an, Pasca-70-an, Pasca-80-an, dan Pasca-90-an.

Berkaca pada uraian ini maka “keriuhan” yang terjadi mengenai impor pakaian bekas yang sesungguhnya telah dilarang berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Permendag Nomor 18 Tahun 2021, akan memiliki banyak implikasi, tidak hanya bagi konsumen tetapi juga pelaku bisnis yang sebagian adalah usaha kecil dan menengah.

Walau termasuk ceruk pasar (niche market), namun tetap menguntungkan karena berpotensi terus tumbuh.

Kepentingan yang lebih besar dan mendesak seharusnya menjadi prioritas untuk meminimalkan efek negatif yang mungkin terjadi.

Isu-isu peduli lingkungan tampaknya menjadi faktor pembeda yang positif bagi kelangsungan industri pakaian bekas ini.

*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com