BELUM lama ini saya mendapatkan "curhatan" dari teman kuliah yang merupakan seorang kepala departemen di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia mengeluhkan kelakukan beberapa anggota timnya yang membuatnya stres bukan kepalang.
Teman saya itu mengaku sering diperlakukan bak "teman nongkrong" oleh bawahannya sendiri. Ada salah satu anggota bawahannya yang sering memanggilnya ketika meminta tolong. Sebagian yang lainnya secara terang-terangan mengajak berdebat terbuka ketika argumennya dianggap tidak masuk akal. Banyak juga anggota timnya yang tiba-tiba mengundurkan diri karena merasa tidak mendapatkan umpan balik.
Baca juga: Memahami Gen Z Indonesia
Setelah berdiskusi panjang lebar, ternyata semua anggota tim yang dianggap "meresahkan" tersebut adalah para fresh graduate yang datang dari generasi z atau gen z. Generasi yang tentu berbeda dengan dirinya yang merupakan gen y alias milenial.
Selama bertahun-tahun, para pemimpin di berbagai sektor fokus untuk lebih memahami generasi milenial. Khususnya sejak makin populernya artikel karangan Joel Stein di majalah Time yang berjudul "The Me Me Me Generation".
Namun, belakangan generasi z sudah mulai "membanjiri" angkatan kerja. Mereka lahir antara sekitar tahun 1997 dan 2012. Anggota tertua gen z mulai atau sudah merintis karier. Ini berarti dinamika tempat kerja akan mulai bergeser saat generasi x dan bahkan gen y menjadi manajemen dan generasi baby boomers mulai pensiun.
Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sebanyak 27,94 persen populasi Indonesia adalah gen z. Jumlah mereka sudah mengalahkan milenial (25,87 persen) yang sebelumnya digadang-gadang menjadi lokomotif kemajuan di Tanah Air.
Baca juga: 5 Kebiasaan Gen Z Saat Belanja, Sangat Berbeda dengan Generasi Lain
Jika melihat komposisi gen y dan gen z, kita semua tentu setuju bahwa keduanya memegang peranan penting pada kemajuan bangsa saat ini dan tahun-tahun mendatang.
Menurut sejumlah pakar, gen z dianggap anti-identitas. Sebagai kelompok, mereka menghindari label dan merangkul otonomi maupun ekspresi individu. Mereka lebih cenderung liberal secara sosial dan politik dan cenderung tidak mengatakan bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, atau ras mereka adalah komponen kunci dari identitas mereka.
Secara umum gen z memang disebut-sebut memiliki harapan maupun perspektif pekerjaan yang berbeda dan dinilai begitu menantang bagi organisasi mana pun. Mereka mampu memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memudahkan berbagai sendi kehidupan.
Terhubung di internet bagi mereka seolah-olah sama pentingnya dengan bernafas karena mereka lahir di abad digital. Berdasarkan temuan riset Bruce Tulgan selama satu dekade, ada lima karakteristik utama gen z yang menjadi pembeda dengan generasi sebelumnya.
Pertama, media sosial adalah cerminan masa depan mereka. Generasi ini tidak pernah mengenal dunia yang benar-benar terasing dari keberadaan orang lain. Media sosial menjadi jembatan atas keterasingan, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi.
Hal itu berkaitan dengan karakteristik kedua, bahwa keterhubungan gen z dengan orang lain merupakan hal yang terpenting.
Ketiga, kesenjangan keterampilan dimungkinkan terjadi dalam gen z. Ini yang menyebabkan upaya mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya seperti komunikasi interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis dan berpikir kritis harus intensif dilakukan.
Baca juga: 5 Kebiasaan Gen Z Saat Belanja, Sangat Berbeda dengan Generasi Lain
Keempat, kemudahan gen z berselancar secara virtual menyebabkan pengalaman mereka menjelajah secara geografis menjadi terbatas. Namun, kemudahan mereka terhubung dengan banyak orang dari beragam belahan dunia menyebabkan gen z memiliki pola pikir global.
Terakhir, keterbukaan gen z dalam menerima berbagai pandangan dan pola pikir, menyebabkan mereka mudah menerima keragaman dan perbedaan pandangan akan suatu hal. Namun, dampaknya kemudian mereka cukup kesulitan untuk mendefinisikannya sendiri.