Belum lagi pamer sufor paling mahal menjadi ajang gengsi para ibu muda di media sosialnya. Tak kalah ricuh, para nenek yang juga terpapar sliweran iklan susu semakin meninggikan kedudukan produk dan melecehkan para menantu yang masih setia menyusui anaknya: sebutan ASI basi, ASI tidak enak rasanya hingga ASI bening tak bergizi semakin santer didengar.
Zaman saya lebih muda, anak-anak yang mendapatkan ASI dikenal tangguh, jarang sakit, dan bertubuh gempal.
Tapi sekarang faktanya kerap terbalik” ibu-ibu yang menyusui merasa minder karena anaknya ‘tidak segemuk’ penikmat sufor.
Gemuk masih menjadi tolok ukur. Padahal mestinya, rujukan tumbuh kembang adalah grafik yang ada dalam buku KIA.
Padahal yang salah juga bukan ASI. Tapi perkara manajemen laktasi, optimalisasi menyusu dengan perlekatan yang benar: ibu-ibu zaman dahulu tidak mengenal kecanduan gawai sambil menyusui, apalagi stres akibat perundungan di media sosial berdampak ‘ASI seret’ jadi alasan.
Alasan yang sama membuat mereka juga memilih produk kemasan pengganti makanan pendamping ASI buatan sendiri.
Apalagi jika dianjurkan di posyandu, yang sekarang banyak telah berubah fungsi menjadi tempat ‘bagi-bagi sampel produk’.
Jika sejak mengenal makanan padat bayi-bayi dijejali rasa pabrikan, tentu setelah besar anak-anak ini punya referensi dan preferensi asupan sesuai dengan rasa kemasan yang dia kenal dengan amat baik berdampak pada kecanduan.
Kecap, saos, sosis, nugget hingga mi instan sudah jadi pangan harian yang menggantikan pangan dan bumbu dalam artian sesungguhnya.
Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?
Dan ini yang dibawa hingga masuk usia sekolah. Beberapa guru yang pernah saya ajak diskusi mengeluhkan sulitnya membuat anak didik mereka menyukai makanan ‘asli’ dengan bumbu ‘asli’ dan ‘asli’ dari daerah sendiri, mulai dari ayam garang asem, pepes ikan, apalagi kalau sudah menyentuh aneka masakan dari sayur.
Ibu-ibu yang merasa ‘hampir kehilangan kewarasan’ akhirnya mengalah demi anaknya mau makan: stok aneka produk beku pabrikan, bumbu-bumbu kemasan yang tinggal cemplung atau tuang.
Gawatnya, lama kelamaan para ibu menikmatinya sebagai kepraktisan. Lebih jauh lagi, ada pembenaran karena isinya sudah tertulis di label komposisi, ‘lebih higienis’ ketimbang stok ayam atau ikan mentah, ‘lebih mudah ditata dalam kulkas’ sehingga isi kulkas nampak rapi. Dapur dan kulkas rumah tangga sudah seperti stok mini market.
Bahkan ada keluarga tajir melintir, yang membanggakan diri punya rak khusus di ruang persediaan bahan pangan yang sungguh-sungguh mirip swalayan: berkardus-kardus makanan instan, kalengan, minuman kemasan tak ketinggalan.
Baca juga: Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai
Dan ini lambat laun ditiru banyak keluarga, termasuk yang ekonominya pas-pasan, sebab ‘influencer’ dan para artis pujaan mereka jadi panutan.
Sangat tidak lucu dan amat mengkhawatirkan jika kita abai dengan hal-hal di atas yang barangkali sudah dianggap ‘normalisasi’ hidup di era sekarang.