Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Urgensi Pendidikan Gizi Keluarga di Sekolah

Kompas.com - 30/04/2023, 13:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sudah cukup lama kebiasaan makan bersama di sekolah khususnya Sekolah Dasar, setiap seminggu sekali diterapkan.

Begitu pula mulai ada sekolah-sekolah yang mengharuskan para murid membawa bekal. Semuanya merupakan inisiatif yang perlu dipuji dan didukung.

Tapi di balik itu semua, perlu ada pemahaman kritis yang mendasari, latar belakang edukasi gizi seimbang yang mestinya berlaku sama, sebab berpangkal dari pedoman yang sama.

Di kalangan pendidik sendiri, masih ada yang memegang prinsip 4 sehat 5 sempurna – bahkan buku ajar masih mengutip jargon lawas tersebut, padahal secara sah diganti menjadi istilah Gizi Seimbang menurut Permenkes no 41/2014.

Baca juga: Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Susu tidak pernah disebut menyempurnakan gizi seseorang, apalagi pada populasi etnis Melayu angka intoleransi laktosa mencapai 80% lebih – artinya, kita memang tidak bisa mencerna produk susu dan turunannya, dengan akibat gangguan pencernaan mulai dari kembung hingga diare.

Kedudukan susu hanyalah salah satu dari sekian banyak sumber protein hewani lainnya. Dan bukan merupakan keharusan saat anak sudah disapih dari air susu ibu di usia 2 tahun.

Jika kita duduk bersama anak usia sekolah dasar hingga sekolah menengah atas – dan berdiskusi tentang apa itu pangan sehat, akan muncul jawaban-jawaban mengejutkan, yang akhirnya mau tak mau kita mengakui kedaruratan pemahaman gizi keluarga di negri ini.

Makan buah sekali sehari saja sudah dianggap sehat oleh para anak dan remaja, padahal mestinya kita mengonsumsi minimal 3 porsi buah per harinya.

Jika berupa apel, jeruk, pisang, sawo berukuran sedang maka 1 buah sama dengan 1 porsi. Sementara buah potong seperti semangka, pepaya atau buah naga 1 porsi diandaikan 1 mangkuk sedang potongan buah.

Saya sedang berharap cemas semoga tidak ada anak-anak kita yang sama konyolnya dengan remaja Amerika Serikat di zaman pemerintahan Ronald Reagan, yang mengatakan saos tomat itu sama saja dengan buah tomat.

Masalahnya, kecenderungan iklan produk kemasan dan aneka suplemen kesehatan kita sudah mulai melakukan komersialisasi kebablasan seakan produk mereka setara dengan bahan pangan aslinya.

Dan tidak ada satu pun institusi kesehatan di negri ini yang sadar, apalagi memberi teguran setiap kali iklan sesat itu muncul.

Dimulai dari usia menyusu, bayi-bayi yang seharusnya mendapatkan hak atas ASI sudah dijejali susu formula akibat para ibu muda terintimidasi oleh oknum kader posyandu dan sayangnya juga oknum nakes yang menyebut ASI tidak cukup, tidak berkualitas bahkan anak yang diberi sufor lebih gemuk, lebih cerdas, dan entah lebih apalagi.

Baca juga: Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting?

Pengandaian itu lebih dipertegas dengan proyek pembagian aneka susu kotak di posyandu yang katanya ‘mencegah stunting’ dan anak yang telah stunting pun diberi susu formula khusus.

Semakin ke pelosok, upaya merendahkan ASI kian masif dan justru semakin banyak anak-anak di kampung yang kemana-mana membawa botol dot.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com