INDUSTRI kosmetik dunia berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) menyebutkan, setiap tahun Indonesia hasilkan sekitar 64 juta ton sampah plastik non-recyclable.
Hanya sedikit dari sampah tersebut yang dikelola dengan baik. Salah satu kontributor terbesar sampah plastik adalah kemasan produk kosmetik, baik produk makeup ataupun produk perawatan kulit (skincare).
Proses produksi, konsumsi, hingga pembuangan plastik dapat menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Semakin tinggi gas karbon yang diemisikan, semakin tinggi pula konsentrasi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer. Hal itu akan berdampak signifikan pada perubahan iklim dunia.
Baca juga: BPOM Gerebek Pabrik Kosmetik Ilegal di Jakarta Utara, Barang Bukti Capai Rp 7,7 Miliar
Pertumbuhan kosmetik sejatinya bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, pertumbuhan industri kosmetik berimbas positif dalam menggerakkan roda ekonomi negara. Di sisi lain, pertumbuhan ini memberikan beban yang signifikan bagi lingkungan dari sampah kosmetik yang dihasilkan, baik ketika proses produksi maupun ketika produk digunakan konsumen.
Selain itu, penggunaan bahan-bahan yang terkandung dalam kosmetik yang bersifat less toxic bagi kesehatan menjadi perhatian serius dunia. Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan negara-negara lainnya mengeluarkan batasan-batasan tertentu mengenai kandungan bahan yang diperbolehkan maupun yang dilarang dalam produk kosmetik.
Persyaratan itu perlu menjadi perhatian yang serius bagi industri kosmetik Indonesia yang ingin berekspansi ke dunia internasional. Karena dua isu besar inilah, terjadi peningkatan permintaan pasar akan produk kosmetik natural dan berbahan alami.
Meningkatnya kepedulian itu bermuara pada kampanye global yang bertajuk Sustainable Beauty. Gerakan ini membutuhkan komitmen dan kerja sama pemerintah, industri kosmetik, dan konsumen sebagai perwakilan masyarakat.
Pemerintah memiliki peran vital dalam membuat kebijakan guna mendukung gerakan Sustainable Beauty. Selain menerbitkan peraturan terkait sustainability, pemerintah dapat mendorong industri agar beralih pada penggunaan bahan baku yang digunakan dalam formulasi kosmetik yang tidak berbahaya bagi kesehatan dan berkelanjutan bagi lingkungan.
Misalnya, pemerintah melarang penggunaan bahan baku yang terbuat dari minyak bumi dan memberikan opsi substitusinya dengan oleokimia berbahan dasar tanaman dan bakteri, misalnya gliserin, argan oil, atau avocado oil.
Pemerintah juga dapat mendorong industri kosmetik untuk menerapkan sustainable packaging. Sustainable packaging adalah pemilihan material pengemas kosmetik berbasis bahan yang tidak berbahaya bagi lingkungan atau yang dapat didaur ulang.
Baca juga: Lewat Komunitas Lyfewithless, Masyarakat Bisa Tukar Wadah Kosmetik Jadi Voucher Belanja
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.