Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Seberapa "Helicopter Parenting" Kita sebagai Orangtua?

Kompas.com - 13/06/2023, 15:37 WIB
Konsultasi Tanya Pakar Parenting

Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel

Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bahkan, orangtua rela menyelesaikan masalah yang dihadapi anak tanpa memberikan ruang bagi anak mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Orangtua yang terbiasa dengan "helicopter parenting" sejak anak masih kecil dapat berlanjut hingga anak menginjak usia 18-25 tahun, di mana anak sudah semestinya mengembangkan kemandirian.

Menurut Odenweller at al. (2014), orangtua dengan "helicopter parenting" memiliki karakteristik akan terus-menerus bertanya setiap hal detail kepada anak, terlalu ikut campur dalam urusan pribadi anak, membuat keputusan penting untuk kehidupan anak, terlibat tujuan pribadi anak, dan berusaha menyingkirkan masalah yang dihadapi anak.

Tampaknya niat orangtua tersebut baik. Namun berdasarkan beberapa penelitian yang ada ditemukan bahwa keterlibatan yang berlebihan akan berdampak negatif pada perkembangan anak.

Bagaimana dampaknya pada anak yang diasuh dengan "helicopter parenting"?

Pertama, anak memiliki kepercayaan diri atau efikasi diri yang rendah (Jung et al., 2019). Mereka ragu akan kemampuannya karena terbiasa dibantu orangtua.

Kedua, berdampak terhadap kesejahteraan psikologis anak seperti menimbulkan kecemasan dan stres, bahkan terpaksa minum pil nyeri dan obat cemas dan depresi (LeMoyne & Buchanan, 2011).

Kepercayaan diri dan harga diri yang rendah akan menyebabkan kecemasan, stres, dan depresi.

Ketiga, anak memiliki keterbukaan yang rendah terhadap pengalaman baru dan menjadi ketergantungan (Montgomery, 2010).

Bahkan anak merasa bahwa dirinya memiliki hak istimewa untuk mendapatkan bantuan dari orang dewasa lainnya, karena terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com