Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Fatherless" Rentan Sebabkan Anak Perempuan Alami Stockholm Syndrom dalam Hubungan

Kompas.com, 18 November 2024, 18:12 WIB
Devi Pattricia,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

Konsultasi Tanya Pakar Parenting

Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel

Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Bicara soal fatherless, sangat lekat kaitannya dengan konsep keayahan yang ditanamkan kedua orangtua sejak dini.

Terutama ayah, penting untuk memberikan contoh figur laki-laki yang baik, agar menjadi sebuah acuan yang tertanam di benak anaknya.

Masalahnya, anak-anak yang fatherless, tak mendapatkan hal tersebut. Dampaknya, bukan hanya pada tumbuh kembang anak, tapi juga hubungan percintaan anak kelak.

Baca juga: 4 Dampak Fenomena Fatherless yang Membahayakan Anak

Menurut Founder Fatherman sekaligus praktisi parenting Islamic Ustadz Bendri, fatherless bisa membuat anak perempuan mengalami Stockholm Syndrome, yang membuatnya terperangkap dalam hubungan percintaan yang tidak sehat.

Stockholm syndrome merupakan sebuah gangguan yang menyerang psikologis korban. Kondisi ini membuat korban merasa simpati kepada pelaku, meskipun sudah mengalami kekerasan.

Alhasil, korban akan terus terjerat dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan mewajarkan tindakan pasangannya.

Hal ini karena dirinya tidak mendapatkan pemahaman, mengenai perilaku dan contoh laki-laki yang baik seperti apa.

“Sindrom Stockholm itu mempengaruhi psikologis korban, yang membuat dia tidak bisa lepas dari KDRT dan menganggap itu wajar, karena dari bapaknya begitu,” jelas Bendri dalam Podcast Kompas Lifestyle, Ruang Keluarga yang bertajuk ‘Fatherless Bikin Anak Mudah Jatuh Cinta pada Orang yang Salah’, Rabu (13/11/2024).

Anak perempuan yang fatherless juga mudah terbuai ketika mendapatkan perlakuan baik, yang padahal sudah sewajarnya dia dapatkan.

Hal tersebut dianggap spesial, karena dirinya jarang mendapatkannya dari figur ayah maupun pasangan.

“Lalu dia juga biasanya dapat kompensasi, seperti meskipun dia dipukul pasangannya, tapi pasangannya memberikan dukungan material atau ada anggapan ‘setidaknya dia punya suami, tidak seperti orang lain,” ujarnya.

Sehingga, ia akan tetap bertahan dan merasa simpati terhadap kebaikan yang dilakukan pasangannya, meskipun dirinya telah mendapatkan kekerasan.

Baca juga: Mengapa Anak Perempuan yang Fatherless Sering Bertemu Pria yang Salah?

Selain itu, ia juga jadi memiliki konsep diri yang rendah dan menganggap bahwa dirinya pantas mendapatkan kekerasan dari pasangannya.

Bendri menyebutkan, hal ini membuat para perempuan menjadi sulit keluar dari toxic relationship.

“Memang sindrom Stockholm itu kadang-kadang membuat orang enggak bisa lepas dari KDRT, karena dia merasa kalau memang sudah sewajarnya dirinya mendapatkan hal itu ,” tandas dia.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau