Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 21 Oktober 2025, 14:35 WIB
Nabilla Ramadhian,
Ni Nyoman Wira Widyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kasus tewasnya mahasiswa Universitas Udayana, Bali, berinisial TAS (22), tengah menjadi perhatian. Sebab, beberapa mahasiswa dari universitas tersebut mengucapkan kata-kata yang tidak pantas saat mengetahui kematian TAS sehingga dinilai nirempati.

Adapun nirempati artinya tidak punya empati. Sementara itu, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain, dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. 

Baca juga:

Menurut psikolog Clement Eko Prasetio, M.Psi., ada beragam dampak dari memiliki sifat nirempati. Simak selengkapnya.

Dampak punya sifat nirempati

1. Relasi sosial yang kurang bagus

“Yang pertama tentu relasi sosialnya jadi kurang bagus. Relasi sosial yang terbuka dengan berbagai macam orang akan susah,” tutur Clement saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/10/2025).

Hal ini berkaitan dengan faktor norma sosial yang memengaruhi bagaimana seseorang mengembangkan empati. Sebab, seseorang punya pertimbangan tentang respons terhadap sesuatu atau orang lain.

Bisa jadi mereka enggan berempati berdasarkan pertimbangan bahwa mereka kurang “oke” secara norma sosial yang dianut oleh suatu kelompok.

“Respons empatik bukan hanya ditentukan dari perasaan, tapi juga dipengaruhi oleh norma sosial suatu kelompok. Bisa jadi ketika mau mengatakan, ‘Eh, kamu kasihan ya’, ternyata norma sosial kelompoknya mengatakan, ‘Kamu enggak boleh melakukan itu karena orang itu adalah musuh’,” jelas Clement.

Ketika berempati terhadap orang lain atau suatu situasi, tetapi norma sosial kelompoknya bertentangan, ia pun pada akhirnya menjadi tidak berempati.

Ia hanya akan berteman dengan orang-orang berpikiran sejalan dan enggan berteman dengan orang yang berpandangan berbeda.

“Padahal, sebagai manusia, kita punya dorongan alamiah untuk bisa mengenal orang lain, untuk bisa menjalin relasi yang baik dengan berbagai jenis orang dan latar belakang,” terang Clement.

Baca juga:

2. Cenderung manipulatif

Psikolog menjelaskan, sifat nirempati bisa membuat seseorang sulit menjalin hubungan sosial dan cenderung manipulatif. Simak selengkapnya.Dok. Freepik/Freepik Psikolog menjelaskan, sifat nirempati bisa membuat seseorang sulit menjalin hubungan sosial dan cenderung manipulatif. Simak selengkapnya.

Selanjutnya adalah orang-orang yang nirempati cenderung manipulatif dan mudah mengundang konflik. Hal ini berkaitan dengan perspective-taking.

Perspective-taking adalah tindakan mengamati suatu situasi, atau memahami sebuah konsep, dari sudut pandang orang lain.

Anak yang diberi ruang untuk melakukan perspective-taking dapat memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain, dan bisa "merasakan" apa yang orang tersebut rasakan.

“Empati tumbuh karena seseorang bisa perspective-taking, dia bisa menginterpretasikan tanda-tanda yang dilihat dan diobservasi di lingkungannya,” kata Clement.

Sementara itu, orang-orang yang nirempati memiliki perspective-taking yang kurang bagus dan fleksibel sehingga hanya bisa menerima sudut pandang yang sesuai dengan dirinya.

“Makanya bisa timbul konflik karena dia enggak bisa dan enggak mau ‘berjalan’ di tengah,” sambung Clement.

3. Merasa kesepian

Psikolog menjelaskan, sifat nirempati bisa membuat seseorang sulit menjalin hubungan sosial dan cenderung manipulatif. Simak selengkapnya.Freepik/tzido Psikolog menjelaskan, sifat nirempati bisa membuat seseorang sulit menjalin hubungan sosial dan cenderung manipulatif. Simak selengkapnya.

Secara personal, seseorang dengan sifat nirempati bisa merasa kesepian karena relasi sosial yang kurang bagus.

Mereka merasa bahwa orang lain berbeda dengan dirinya, dan mempertanyakan mengapa orang lain bisa berpikiran seperti itu, alias berempati terhadap orang lain atau suatu kondisi.

Baca juga:

4. Berperilaku menyimpang

Kemudian adalah perilaku yang menyimpang. Karena sifatnya yang nirempati, orang-orang ini berkemungkinan melakukan sesuatu yang secara hukum masuk akal untuk tidak dilakukan, tetapi menurut mereka tidak masuk akal.

“Contoh paling gampang adalah, ‘Kenapa kita enggak boleh bully? Emang apa sih rasanya di-bully? Kan begini aja mah bukan pem-bully-an kali?’,” tutur Clement.

Pada orang-orang yang nirempati, agak susah bagi mereka untuk mengambil perspektif dari sisi yang berbeda atau lebih luas tentang dampak dari perilaku mereka.

Sebab, mereka sulit menginterpretasikan tanda-tanda sosial atau tanda-tanda lainnya. Meskipun bisa, ada norma sosial yang mereka pegang teguh sehingga sulit untuk terbuka dengan perspektif baru.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau