Penulis
KOMPAS.com - Menjalani peran sebagai ibu tunggal bukan hal yang mudah. Selalu ada upaya, penyesuaian, dan langkah-langkah kecil yang perlu dijalani setiap hari.
Hal itu juga dirasakan Rosita Amelia Putri (27), ibu asal NTB yang membesarkan anaknya seorang diri sambil perlahan membangun kembali hidupnya bersama putranya yang kini berusia 9 tahun.
Bagi Rosita, menjadi ibu adalah perjalanan panjang yang tidak bisa diukur dengan satu definisi.
Ia percaya setiap perempuan memiliki pengalaman hidup yang berbeda, sehingga perjalanan menjadi ibu juga tidak bisa disamakan.
"Karena setiap ibu punya kondisi keluarga yang berbeda dengan karakter anak yang tidak mungkin sama. Setiap ibu juga dibentuk oleh masa lalunya, yang menjadikannya pribadi seperti sekarang," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/12/2025).
Baca juga: Cerita Kartika Hadapi Tekanan Jadi Ibu Sempurna dari Mamanya Sendiri
Sejak menjadi ibu tunggal, Rosita merasakan betapa beratnya menjalani banyak peran sekaligus.
Ia adalah pencari nafkah, pengasuh, teman bercerita, sekaligus satu-satunya tempat pulang bagi anaknya.
"Momen paling berat bagiku ketika satu tubuh kecil ini memainkan banyak peran," ujar Rosita.
Ada masa ketika ia tidak punya tempat kembali, tidak ada ruang untuk beristirahat, hingga sempat berada di titik gelap.
Namun, bayangan anaknya membuat ia bertahan.
"Aku harus selalu bangkit karena dunia anakku adalah aku, tidak ada yang mencintainya melebihi aku," imbuhnya
Tekanan itu membuatnya menyadari pentingnya menjaga ketahanan fisik dan mental.
Meski tidak mudah, ia belajar berdamai dengan kenyataan bahwa seorang ibu tetap perlu sehat secara emosional untuk bisa merawat anak.
Rosita, ibu tunggal, menceritakan perjalanannya menjalani banyak peran, menghadapi rasa bersalah, dan membangun hidup bersama anaknya.Sebagai ibu tunggal, Rosita juga menghadapi ekspektasi sosial yang tidak selalu ramah.
Ia pernah merasa dinilai hanya karena statusnya, atau dikomentari karena caranya mengasuh anak.
Alih-alih terus berada di lingkungan yang membuat mentalnya terkikis, Rosita memilih untuk menjaga jarak demi kesehatan dirinya.
“Keluar dari lingkungan yang penuh emosi negatif itu perlu,” ujarnya.
Ia menyadari bahwa waktu, energi, dan kebahagiaan diri adalah bagian penting dari proses menjadi ibu.
Dengan menjaga ruang aman, ia bisa lebih fokus merawat dirinya dan anaknya.
Baca juga: Perjuangan Ira Membesarkan Anak dengan ADHD, Tentang Menerima dan Mencintai
Rasa bersalah adalah hal yang familiar bagi banyak ibu, begitu juga bagi Rosita.
Salah satu momen paling membekas adalah saat ia dan anaknya harus berpindah-pindah tempat tinggal.
Dalam situasi hujan, mereka sempat mencari tempat berteduh sambil membawa barang seadanya.
Di tengah dingin dan kelelahan itu, anaknya berkata pelan, "Ma, sabar ya. Nanti kalau aku besar, aku bikinin rumah".
Kalimat sederhana itu membuat Rosita menangis.
"Aku merasa bersalah karena anakku ikut merasakan sesuatu yang harusnya tidak menjadi bebannya," ungkap Rosita.
Namun momen itu pula yang memperkuat tekadnya.
Rosita ingin memastikan luka masa kecilnya tidak berpindah kepada anaknya.
Meski rumah kecil mereka belum ideal, ia ingin tempat itu tetap menjadi ruang yang hangat dan aman.
Ada masa ketika pikiran seperti "aku gagal sebagai ibu" muncul.
Alih-alih membiarkan diri tenggelam dalam rasa bersalah, Rosita mencoba memaknainya sebagai pengingat tanggung jawab, bukan hukuman.
Menurutnya, tidak ada ibu yang harus selalu sempurna. Yang terpenting adalah menjadi orang tua yang tepat bagi anak, dengan segala kemampuan yang dimiliki
"Aku mungkin tidak sempurna, tapi aku bisa jadi ibu yang tepat untuk anakku," ujarnya.
Di balik semua perjuangannya, Rosita mengakui bahwa ia tidak memiliki banyak dukungan dari orang lain.
"Tidak ada tempat pulang dan tidak ada tempat mengadu," ungkapnya.
Satu-satunya support system yang benar-benar ia rasakan hanyalah dirinya dan anaknya.
Meski begitu, ia tetap bersyukur karena mampu bertahan hingga hari ini.
"Terima kasih kepada diriku sendiri yang selalu berusaha membuat semuanya terlihat baik-baik saja," ujarnya.
Baca juga: Potret Multiperan Ibu Bekerja dengan Karier Gemilang di Era Modern
"Baru saja aku termenung, memikirkan ternyata sudah sampai sejauh ini," ujarnya.
Ia menyadari sudah melewati banyak hal sulit, dari berpindah tempat tinggal, tekanan mental, hingga rutinitas memikul banyak peran. Meski penuh air mata, semua itu bisa ia lewati.
"Sekarang lihat, semua sudah terlewati walaupun dengan ribuan kata ‘capek’," ujar Rosita.
Jika ia bisa berbicara kepada dirinya yang baru menjadi ibu dulu, Rosita ingin mengatakan bahwa kesiapan mental, finansial, dan ilmu parenting sangat penting.
Bukan untuk membuat diri sempurna, tetapi agar anak tidak harus menanggung luka yang bukan miliknya.
Bagi ibu lain yang sedang merasa belum cukup baik, Rosita ingin menyampaikan bahwa perjalanan setiap ibu berbeda.
Banyak perempuan yang menjalani peran ganda, sering kali tanpa tempat bersandar, namun tetap berusaha memberikan yang terbaik.
"Percayalah, kamu tidak benar-benar berjuang sendirian," ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa setiap langkah kecil seorang ibu adalah bentuk cinta dan ketahanan yang luar biasa.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang