Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/10/2012, 20:18 WIB

KOMPAS.com - Masakan Indonesia tak lagi tampil sekadarnya. Ragam kuliner negeri ini terbukti bisa dieksplorasi dengan pendekatan modern dan klasik, mulai dari aliran molekuler hingga ”slow food”.

Sekarang, bayangkan di hadapan Anda tersaji menu seperti ini: daging gulung yang membalut mousse telur asin. Daging ini disajikan di mangkuk, dilengkapi kuah berwarna bening kecoklatan, berhiaskan butiran-butiran mirip kaviar.

Masakan apa yang ada di pikiran Anda dengan membayangkan deskripsi tersebut? Sebagai bocoran, ini adalah masakan Indonesia.

Jawabannya adalah rawon. Itulah penerjemahan chef (juru masak) Andrian Ishak terhadap masakan asal Jawa Timur ini, yang disajikan dalam makan malam, Kamis (18/10/2012), salah satu mata acara Jakarta Culinary Festival 2012.

Dengan berkiblat pada ”aliran” molecular gastronomy (gastronomi molekuler) dan teknik memasak yang disebut molecular cooking, Andrian mengubah tampilan rawon yang biasanya hitam pekat, berisi potongan kecil daging, taoge, serta telur asin yang disajikan terpisah.

Rawon gastronomi molekuler ala Andrian ditampilkan berupa gulungan daging sukiyaki. Telur asinnya diolah menjadi mousse (semacam busa agak padat) yang dibekap dalam gulungan daging.

Sebagai pelengkap, taoge yang biasanya berbentuk kecambah diubah menjadi kaviar. Adapun keluak, bumbu penting yang menjadikan rawon berwarna hitam, dibuat sebagai taburan. Andrian seperti mereinkarnasi rawon. Jiwa rawon ditiupkannya dalam wujud raga yang berbeda sama sekali.

Sekarang, mari kita tengok acara makan malam bersama tim Maharasa Indonesia di tempat dan waktu yang berbeda. Eksplorasi kekayaan kuliner Indonesia tak kalah mengesankan. Apalagi, sepanjang menikmati menu demi menu yang disajikan dalam gaya fine dining itu, para tamu disuguhi cerita di balik setiap makanan, terutama tentang bahan makanan yang keseluruhannya asli Indonesia.

Sebagai pembuka, misalnya, tersaji teh rempah, yaitu teh organik dari lereng Gunung Salak yang diramu bersama buah-buahan tropis, kemukus (semacam lada hitam) dari Kalimantan, kayu manis (Gunung Kerinci), dan cengkeh (Ambon). Minuman ini dilengkapi ”kaviar” dari nanas yang tumbuh di bawah tegakan pohon di Gunung Halimun. Tak seperti teh yang biasanya terasa agak pahit, teh rempah ini terasa segar dengan dominasi aroma buah dan soda di dalamnya.

Sebagai menu penggugah selera, hadir dua stik berbahan ikan makarel berukuran mini, sekitar 10 cm x 1 cm x 1 cm. Stik ini disajikan indah dipadukan dengan sambal matah ditata memanjang, ditambah hiasan beberapa helai selada air.

Itulah cara dua juru masak, Adzan Tri Budiman dan Ragil Imam Wibowo, yang menjadi bagian dari tim Maharasa Indonesia, menerjemahkan sate lilit, salah satu masakan khas Bali.

Menikmati rangkaian menu khas Indonesia dalam dua acara tersebut terasa berbeda. Unik, meski sesekali otak harus menebak-nebak jenis masakan asli dari sensasi rasa di lidah.

Masakan yang diolah Andrian, misalnya, sesaat membuat penikmatnya menerka-nerka apa gerangan yang tersaji. Namun, juru masak lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (dulu NHI) ini tetap berusaha meninggalkan jejak cita rasa aslinya.

Pendekatan sains
Gastronomi molekuler—ilmu yang mengeksplorasi pendekatan sains dalam dunia kuliner—sebenarnya bukanlah hal baru di arena internasional. Sperifikasi adalah salah satu teknik yang sering dipraktikkan. Ini merupakan proses membentuk cairan menjadi butiran serupa kaviar dengan menggunakan beberapa jenis bahan kimia yang aman dan sudah dikenal sejak 1950-an.

Namun, di Indonesia, juru masak yang memilih fokus pada teknik masak molekuler, apalagi untuk jenis masakan Indonesia, bisa dikatakan belum ada. Menurut Andrian, tantangan untuk mengolah masakan Indonesia dengan teknik molekuler cukup besar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com