Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/04/2014, 17:55 WIB
Wardah Fajri

Penulis

KOMPAS.com — Gusti Noeroel, sosok perempuan yang menjaga tradisi Keraton tetapi berpikiran dan bergaya hidup modern, menjadi sumber inspirasi, juga idola bagi perempuan lintas generasi. Inspirasi inilah yang ingin dibagi pihak keluarga, melalui Penerbit Buku Kompas, dalam sebuah buku biografi berjudul Gusti Noeroel Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan).

Gusti Noeroel adalah anak tunggal putra adipati Keraton Jawa, Kota Solo, Praja Mangkunagaran, KGPAA Mangkoenagoro VII, dari permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu Timoer. Ayah Gusti Noeroel adalah seorang ningrat dari Solo yang beristrikan putri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ibu Gusti Noeroel adalah putri ke-12 Sultan Hamengku Buwono VII dari permaisuri ketiga, GKR Kencono. Nama asli ibunya adalah GRAy Mursudarijah.

Memilih merdeka
Perempuan berkarakter khas ini memutuskan untuk merdeka mencari kebahagiaan, keluar dari Keraton untuk melakukan perjalanannya sendiri bersama suami yang berkarier militer. Ia menolak dimadu karena tak ingin menyakiti perempuan lain. Ia menolak menjadi permaisuri karena tak silau harta, juga kekuasaan. Gusti Noeroel mencari kebahagiaan dengan caranya.

Terlahir sebagai bangsawan tak membuat Gusti Noeroel terlena dengan pelayanan para abdi dalem (abdi raja) atau dayang-dayang yang selalu setia menemani. Ia tumbuh sebagai perempuan mandiri yang menjaga akar budaya, tetapi tetap menerima budaya modern. Ia berani bereksperimen dengan gaya busana, tetap berkebaya, tetapi tak menutup diri dari gaya busana modern. Ia tak pantang melakukan berbagai hal yang disukainya, antara lain menunggang kuda dan bermain tenis, tetapi tetap patuh pada tradisi, bahkan masih menjalani tirakat.

Gusti Noeroel juga dikenal sebagai perempuan muda yang tak hanya pintar membawakan tarian klasik Jawa. Ia juga berhasil memukau orang Belanda saat tampil memenuhi undangan di negeri itu pada 1973. Selain terbiasa mendengar gamelan di lingkungan Keraton saat masih belia, ia juga menyukai lagu Barat.

Sosoknya yang berkarakter kuat inilah yang menarik perhatian banyak pihak, mulai dari media nasional hingga media di Belanda. Profil Gusti Noeroel dimuat di beberapa media tersebut. Sosoknya pun memberikan inspirasi untuk wanita pada zamannya.

Tak hanya menjadi idola kaum hawa, kecantikan fisik dan kepribadian menarik seorang Gusti Noeroel juga memikat hati berbagai kalangan dan bangsawan. Namun, prinsip kuatnya yang menolak poligami membuat banyak pria patah hati. Sederhana saja alasannya.

"Aku takut tidak bisa tidur karena dimadu," jawabnya terhadap Sultan dari Yogyakarta yang tak berhasil meminangnya.

Dalam bukunya, Gusti Noeroel menuliskan alasannya menolak poligami, meski pada usia 20 tahun belum juga mendapatkan jodoh. Perempuan berusia 20 tahun pada masa itu dianggap tak enteng jodoh jika belum juga menikah.

"Tapi aku lebih percaya dengan hati nurani untuk mengatakan 'tidak' dan harus berani menolak. Rasanya tidak adil bila aku mendesak Sultan untuk menceraikan garwa ampil-nya. Bagaimanapun, mereka kaumku. Wanita mana yang mau diceraikan begitu saja karena suami akan menikah lagi dengan wanita lain. Aku tidak mau menyakiti wanita lain," tulisnya.

Ia menjatuhkan pilihan kepada seorang militer berpangkat letnan kolonel yang bertugas di Bandung sebagai Komandan Pusat Kesenjataan Kavaleri TNI AD, RM Soerjo Soejarso. Mas Jarso, panggilan akrabnya, adalah juga keturunan bangsawan. Namun, pasangan suami istri berdarah biru ini meninggalkan Keraton untuk hidup bersama, membangun keluarga sederhana dalam perantauan.

Prinsip kuat
Pasangan ini dikaruniai 7 anak (satu meninggal), 14 cucu, dan 4 buyut. Kepada anak-anaknya, terutama anak perempuan, Gusti Noeroel kerap berpesan agar jangan pernah mau dimadu. Meski bukan satu-satunya pandangan yang ia tanamkan kepada penerusnya, pesan ini bermakna mendalam.

Kepada Kompas Female, putri sulung Gusti Noeroel, BRAy Parimita Wiyarti, mengatakan bahwa prinsip tak mau dimadu tak hanya kuat melekat dalam diri ibunya, tetapi juga dirinya dan semua anaknya hingga cucu-cucunya.

"Prinsip enggak mau dimadu berasal dari ibu. Ibu Gusti melihat ada duka di wajah ibunya, seperti ada penyesalan karena meski menjadi ratu, ada banyak selir. Ibu Gusti seperti melihat ada kepedihan karena menyengsarakan perempuan lain," katanya di sela peluncuran buku Gusti Noeroel di Jakarta, Rabu (16/4/2014).

Bagi Parimita, ibunya adalah sosok perempuan dan orangtua modern yang merdeka, tetapi sederhana. Ia mengejar kebahagiaan yang tak diukur dari materi. Ia berpikiran terbuka, tetapi tetap terpimpin. Prinsip dan karakter kuat inilah yang memberikan inspirasi, dan kemudian diwariskan kepada anak-cucu.

Kini, 15 tahun sepeninggal suaminya, di usia 92 tahun, Gusti Noeroel menikmati kebersamaan dengan keluarga multikultur di Gegerkalong, Bandung. Gusti Noeroel dengan perjalanannya menjadi ibu, eyang putri, dan sepuh bisa menginspirasi banyak keluarga, terutama perempuan, untuk menentukan kebahagiaan secara merdeka, tanpa melukai pihak lain, serta untuk mencari kebahagiaan dengan caranya sendiri, yang kemudian menjadi sesuatu yang menginspirasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com