Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dian Sastro dan Hal-Hal yang Laki-Laki Tidak Mengerti

Kompas.com - 23/02/2016, 16:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
ENTAH sejak kapan Triyanto Hapsoro dipanggil Dabgenthong. Kawan baik saya dari Yogyakarta ini beberapa hari terakhir mengejutkan saya dengan foto terbarunya bersama idola laki-laki angkatan kami: Dian Sastro.

Dia mengunggah foto-foto berdua dengan bintang film Ada Apa Dengan Cinta itu ke berbagai media sosial. Dabgenthong sedang peye.

Saya ingin iri tapi tidak sanggup. Apalagi Dabgenthong menggunakan alibi profesional memajang foto-foto itu, yaitu dia sedang menjadi mentor akting Dian Sastro.

Saya berusaha tidak percaya kepada Dabgenthong dan segera menghubungi sutradara Hanung Bramantyo yang memang sedang merancang Dian Sastro menjadi bintang utama film Kartini.

"Sedang dipermak jadi Jawa," kata Hanung. Nah, entah bagaimana cara agar Dian Sastro njawani itulah tugas guru peran: Dabgenthong.

Yang jelas,  saya melihat foto-foto dia dan Dian Sastro yang sedang bicara, menari, membatik, dan sebagainya di Twitter, Instagram, Path, dan Facebook. Yang paling tidak saya sukai adalah potret dia mrenges seperti mengejek.

Hari Kartini selalu diperingati secara nasional setiap 21 April dan Hanung pasti paham bagaimana memainkan perhatian publik melalui film "ibu kita" ini.

Terlebih, setiap Hari Kartini tiba, emansipasi wanita selalu memeroleh momen istimewa untuk menjadi tema utama. Padahal, saya haqqul yaqin kaum Hawa ingin emansipasi itu tidak berlaku tahunan, melainkan harian.

Bahkan perempuan menuntut kesetaraan derajat atas laki-laki itu berlaku detikan. Setiap saat. Oleh karena itu, film biopic Kartini menjadi penting untuk diikuti dari proses kreatif hingga hasilnya.

Saya salut kepada para aktor panggung di Yogyakarta yang setia pada dunia peran dan membuka kelas akting. Dabgenthong dan Whani Darmawan, dua contohnya.

Pernah saya berbincang dengan Soimah tentang suka-duka dia dan kawan-kawan teater di Yogyakarta mempersiapkan suatu pementasan. Tiga sampai empat bulan berlatih tanpa henti.

"Padahal, sejak awal kami sudah tahu bahwa honor yang akan kami terima tidak sebanding dengan ongkos yang kami keluarkan. Tapi, kami bahagia," ungkapnya.

Sulit membayangkan kebahagiaan serupa dirasakan artis-artis ibukota yang menerima lebih dari satu naskah untuk lebih dari satu sinetron kejar tayang, yang bahkan syuting pada hari yang sama.

Dan, saya kurang yakin Dabgenthong akan mendapat tugas membantu pemain sinetron mendalami karakter. Sempat baca naskah saja sudah sangat baik.

Tapi, kembali ke soal Kartini, emansipasi wanita, Dian Sastro, dan Soimah, saya malu hati tidak berani menuntut emansipasi laki-laki. Isu kesetaraan derajat laki-laki terhadap perempuan ini keren, sebetulnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com