Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Remaja di Indonesia Alami Tiga Masalah Gizi, Apa Saja?

Kompas.com - 31/07/2021, 13:39 WIB
Ryan Sara Pratiwi,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Masalah gizi pada remaja di Indonesia memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas perkembangannya sebagai seorang individu.

Maka tak heran, sering kali remaja yang mengalami masalah gizi — baik karena kekurangan atau kelebihan — tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Ahli gizi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Dr Rina Agustina, MD, PhD mengatakan, saat ini remaja di Indonesia dihadapkan pada tiga masalah gizi.

"Tiga masalah gizi yang dialami remaja di Indonesia adalah kekurangan gizi (stunting), kekurangan gizi mikro yang menyebabkan anemia, dan kelebihan berat badan (obesitas)," ungkap dia.

Berbicara dalam webinar, Jumat (30/7/2021) kemarin, Rina menyebut, ada banyak faktor yang menyebabkan tiga masalah gizi tersebut.

Ada pun pemicunya antara lain adalah gaya hidup yang tidak sehat, kesenjangan sosial dan pendidikan, hingga masalah kesehatan mental.

Baca juga: Obesitas dan Hipertiroid, Wanita Ini Sukses Turun 68 Kg dengan Jalan Kaki

Namun, masalah gizi ini tetap dapat diintervensi dengan mengubah gaya hidup yang lebih sehat, dan edukasi mengenai pentingnya kecukupan nutrisi di masa remaja.

"Dalam sebuah penelitian yang saya lakukan, saya juga menemukan bahwa banyak remaja yang mengonsumsi buah dan sayur namun tetap mengonsumsi makanan cepat saji berlebihan," ungkap Rina.

"Jadi peran orangtua juga sangat penting untuk mengedukasi anak remaja terkait makanan yang sehat dan seimbang, serta banyak melakukan aktivitas fisik," lanjut dia.

Sementara itu, masalah anemia pada remaja di Indonesia terbilang tinggi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32 persen. Artinya, 3-4 dari 10 remaja menderita anemia.

Gangguan anemia ini tentu saja dapat menghambat para remaja dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, terutama dalam proses belajar.

Apalagi, di masa pandemi ini, pemberian tablet tambah darah (TTD) tidak dapat dilakukan secara maksimal.

Kondisi ini terjadi karena keterbatasan untuk bertemu tatap muka dengan para guru di sekolah.

"Selama masa pandemi ini, memang program pemberian TTD pada remaja memang agak sulit dilakukan karena proses belajar semua beralih ke rumah," kata ahli gizi di Unicef Indonesia, Airin Roshita.

Baca juga: Kisah Pria Obesitas yang Kini Jadi Model

"Tetapi kami terus mengadvokasi Pemerintah Daerah untuk mewajibkan program TTD di rumah," imbuh dia.

Selain itu, Airin mengaku pihaknya juga meminta para guru mengontrol pengonsumsian tablet dan menerapkan jadwal rutin minum TTD.

"Kami pun melibatkan anak remaja itu sendiri untuk memanfaatkan media sosial mereka guna mengedukasi pentingnya minum TTD dalam upaya pencegahan anemia," tegas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com