Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencari Solusi Akibat Adopsi Teknologi Tanpa Literasi

Seperti kata orang, mau jualan apa pun di Indonesia, dijamin pasti untung. Selain koridor aturan yang longgar – atau hampir tidak ada – juga norma kultur yang begitu terbuka selama jangan menyenggol urusan SARA.

Sebut produk konsumsi orang Indonesia masa kini, mulai dari sandang – pangan – papan. Sejak bayi pun sudah terdampak.

Siapa yang ‘hari gini’ masih mencuci popok? Bahkan di daerah terdampak bencana, bayi-bayi mendapat sumbangan popok sekali pakai buang.

Yang aneh, sekarang kita kerepotan sendiri mengatasi limbah popok-popok menjijikan bekas pakai ini, yang menggunung di antara tumpukan sampah.

Jangan bicara soal penggunaan produk plastik. Itu lebih lucu lagi. Seakan-akan yang salah plastiknya, sehingga begitu banyak orang anti menggunakan bahan plastik. Padahal, masalah terletak di pembuangannya. Dan solusi pendauran-ulangnya.

Ini mirip dengan kasus ibu hamil berisiko terkena infeksi parasit bernama toksoplasma. Yang disalahkan sayur lalapnya.

Bukan kejorokan hidup akibat tidak menerapkan PHBS, pola hidup bersih dan sehat, sebagaimana didengung-dengungkan pemerintah.

Padahal. kebanyakan calon ibu menderita toksoplasmosis tidak mendapatkan parasitnya akibat makan lalap, melainkan jajan bakso pinggir jalan atau siomay pas ngidam.

Di bidang telekomunikasi lebih parah lagi. Mampu beli ponsel jutaan bahkan belasan juta rupiah – ujung-ujungnya hanya untuk berfoto ria dan mengeditnya agar tampak cantik dan genit diunggah ke media sosial.

Nah medianya pun yang tadinya dimaksudkan untuk ‘internet working’ – atau minimal seperti istilah orang Jawa: ‘ngumpulke balung pisah’ alias silahturahim bagi mereka yang sudah tercerai berai – ah, malah kini digunakan sebagai sarana cepat saling hujat.

Pangan instan, yang tadinya tercipta untuk kondisi terdesak – alias kepepet – kini malah setiap hari nampaknya dijadikan normalitas yang baru.

Suatu transformasi budaya yang akhirnya berbenturan dengan kebutuhan fisik yang tidak mengenal istilah kekinian – suatu hari akan menuai badai.

Beberapa bukti sudah kelihatan nyata, cukup mengerikan. Literasi rendah dibarengi dorongan meniru membuat orang membabi buta melakukan apa saja, termasuk merusak hidupnya sendiri.

Satu hal yang sedang saya amati di saat ekonomi sedang melilit dan orang tidak lagi terbiasa mengolah pangannya sendiri di rumah, maka akan muncul makanan-makanan berharga murah yang tidak terkontrol isinya.

Apalagi, di Indonesia semua orang berhak buka lapak di depan rumahnya. Mulai dari jualan nasi campur hingga es mambo aneka warna.

Suatu hari, apabila pemerintah memberlakukan ijin berjualan makanan, mereka akan berteriak merasa terdzolimi dan hak mencari nafkahnya terganggu.

Sebetulnya kita sudah mempunyai perangkat atau sebutlah sistem yang mempunyai kewenangan mengontrol, walaupun belum seketat negara maju.


Salah satu fungsi puskesmas sebagai lini terdepan garda penjaga kesehatan di bawah seksi ‘Kesehatan Lingkungan’ memiliki hak mengawasi dan melakukan penindakan demi upaya preventif dan promotif.

Tapi apa mau dikata, upaya pencegahan selalu menjadi bahan tertawaan bahkan ledekan dimana-mana. Yang salah biasanya lebih galak – itu normalitas baru yang kini berlaku.

Yang berjualan diberitahu baik-baik, diajari cara memilih bahan dan mengolah yang lebih sehat serta kemasan yang higienis, malah balik nembak, ”Ah teori lu, tahu apa soal dagang. Selama ini enggak ada tuh yang ngeluh, boro-boro jadi sakit! Sakit mah suratan Yang Kuasa, kalo emang dasarnya kudu sakit mah sakit aja,...” – biasanya petugas kesehatan mundur teratur takut bernasib sama seperti satpol PP.

Pembiaran yang juga sudah menjadi normalitas baru ini suatu hari akan mendulang nestapa – yang belum tentu rakyat jelata paham bahwa jika diusut ternyata mempunyai hulu dan muara yang mempunyai rentang cukup jauh tapi berkorelasi signifikan.

Saat kantin di sekolah-sekolah negara maju sudah tidak lagi menyediakan makanan instan dan minuman bersoda, di sini berbagai kemasan dan botol plastik sarat produk ultra proses mengisi etalase warung milik sekolah (bukan tukang jualan di luar gerbang!).

Mengembalikan para siswa kita mengonsumsi buah, sayur dan berbagai lauk tradisionalnya barangkali butuh beberapa generasi – setelah mereka terdampak masalah kesehatan dengan segala harga yang harus dibayar.

Saat anak-anak Papua sudah makan nasi kuning dengan lauk mi goreng dan menjadi gemuk-gemuk karenanya, tidak heran dalam 10 tahun terakhir ini angka obesitas di sana meledak dua kali lipat pada wanita di atas 18 tahun dengan risiko sindroma metabolik dalam waktu dekat.

Entah lidah yang sudah melekat dengan nasi dan mi butuh berapa generasi untuk dikembalikan mampu mengunyah ikan yang lebih sehat dengan papeda – yang kini menjadi makanan eksotis, tinggal jadi sejarah gourmet yang instagramable.

Bukan hanya sandang dan pangan. Di bidang papan pun, bangsa ini anehnya minder punya rumah kayu dan bambu. Bahkan, standar kemiskinan menentukan hadirnya rumah batu sebagai batas lepas status miskin.

Padahal, yang bertahan diguncang gempa adalah rumah berkonstruksi kayu dan bambu, yang jika dibangun dengan teknologi tepat guna akan jadi hunian papan atas.

Orang desa di negri kita malah malu masih punya tiang kayu, mereka banting tulang kerja serabutan di kota hanya demi mengganti tiang rumahnya dengan tumpukan bata dan semen. Dan saat gempa melanda, semuanya luluh lantak tak bersisa – hasil keringat yang lewat begitu saja.

Literasi, cara berpikir kritis, dan kemampuan olah informasi menjadi hal yang teramat krusial bagi bangsa yang serius ingin membangun masa depan mapan, bukan maket ilusi rumah kertas dengan fondasi getas.

Atau, akhirnya kita hanya melihat anak-anak di pelosok yang kelihatan gemuk akibat makan apa saja, tapi tidak tumbuh tinggi, apalagi berotak cerdas. Istilahnya, stunted obese.

Grafik mengarah ke sana sudah ada, hanya saja awam tidak memantaunya. Tahu-tahu kita membaca di berita online: “Tidak terima dilarang jajan, anak menikam ibunya” atau “Tidak mampu meneruskan sekolah, bocah SMP memilih dinikahkan” atau “Tidak sanggup menanggung penyakit diabetesnya, seorang remaja mencoba bunuh diri”.

Dan makin hari berita-berita seperti itu kian mengerikan - jika kita tidak temukan solusi akibat teknologi dan informasi semua aspek kehidupan yang diadopsi tanpa literasi.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/09/16/081500020/mencari-solusi-akibat-adopsi-teknologi-tanpa-literasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke