Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Punya Bayi Prematur, Orangtua Harus Lebih Aktif Pantau Perkembangannya

JAKARTA, KOMPAS.com - Angka kelahiran bayi prematur di Indonesia terbilang sangat tinggi. Menurut laporan Born too Soon milik The Global Action Report on Preterm Birth dari PBB, Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah bayi prematur terbanyak di dunia. Angkanya mencapai 675.700 bayi di tahun 2010.

Namun, tak sedikit orangtua terutama ibu yang masih belum mendapatkan cukup edukasi untuk terus memantau perkembangan anaknya yang terlahir prematur.

"Memang bayi prematur bedanya ibunya harus lebih banyak konsultasi, jangan (melakukn segala hal) sendiri karena bahaya," kata Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) dalam peluncuran bukunya yang bertajuk "ASI untuk Bayi Prematur" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (28/11/2018).

Rina memahami bahwa tak sedikit bayi yang lahir di daerah dengan fasilitas kesehatan dan dokter yang belum memadai. Dalam posisi tersebut, peran komunitas terkait menjadi sangat penting untuk membantu penyebaran edukasi ke daerah-daerah.

Namun, orangtua harus tetap melakukan proses screening atau pemantauan berkala terhadap bayi prematurnya. Jangan sampai para ibu justru datang ke dokter setelah anaknya mendapatkan masalah.

"Jangan tahu-tahu datang sudah buta, tuli, enggak bisa jalan, anaknya enggak pintar atau kegendutan," tuturnya.

Bagi bayi baru lahir, Rina mengingatkan agar orangtua selalu memantau grafik pertumbuhannya serta melakukan koreksi jika ada pertumbuhan yang belum sama seperti bayi cukup bulan.

Misalnya, ketika seorang bayi lahir delapan minggu lebih awal dari 37 minggu (waktu lahir cukup bulan). Maka bayi tersebut harus mengejar ketertinggalan pertumbuhannya tersebut.

Keterlambatan harus terus dikejar, sebab pertumbuhan anak paling pesat terjadi pada 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) atau hingga usia dua tahun.

Rina mengaku sedih karena masih ada ibu yang mengabaikan grafik tersebut. Ada beberapa kasus dimana mereka tidak memahami grafik tersebut atau bahkan tidak sengaja menghilangkannya.

"Ada yang tidak tahu taruh dimana karena tidak tahu kegunaannya, ibunya cuek, jadi bukunya hilang. Padahal itu sangat penting dan tidak bisa bikin baru sebab dokter tidak tahu tren pertumbuhannya," tuturnya.

Pemantauan pertumbuhan tidak berhenti hingga usia dua tahun saja. Menurut Rina, perkembangan setidaknya dipantau hingga usia awal sekolah atau pada 6-7 tahun.

"Mata, telinga, otak, tulang, HB (Hemoglobin), harus diperiksa. Ada screening tumbuh dan screening perkembangan: usia tiga bulan seharusnya bisa apa. Kalau tidak bisa, harus dicari tahu kenapa tidak bisa," kata Rina.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/29/131300720/punya-bayi-prematur-orangtua-harus-lebih-aktif-pantau-perkembangannya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com