Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Boleh Saja Berfoto di Lokasi Bencana, tetapi...

Fenomena ini semakin hangat diperbincangkan ketika beritanya dimuat dalam sebuah artikel di media besar asal Inggris, The Guardian.

Beragam komentar mereka tuliskan di akun media sosial, seperti Twitter. Ada yang merasa miris, ada pula yang menyayangkan hal ini terjadi. Terlebih, ekspresi muka yang ditunjukkan dalam foto tidak mencerminkan duka dan empati atas kerusakan, serta duka akibat bencana yang terjadi.

Terlepas dari komentar netizen, pengamat media sosial Nukman Luthfie membagikan pandangannya.

Saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (27/12/2018) siang, Nukman menjelaskan beberapa poin yang harus diperhatikan sebelum mengomentari fenomena selfie di lokasi bencana itu.

"Memang ada tipe orang yang pengin membuktikan dia ada di lokasi dengan cara log in, check in, yang dilengkapi dengan foto," kata Nukman.

"Sebenarnya niatnya biasa saja, dia mau mengumumkan kepada siapa pun bahwa dia sudah ke tempat bencana. Dia mau mengklaim ke siapa pun, dia sudah di sana," ucapnya.

Namun, ada yang harus diperhatikan, yakni suasana di lokasi mengambil foto. Jika lokasi itu adalah lokasi bencana, ada beberapa jenis foto yang bisa dilakukan untuk menunjukkan keberadaan kita.

Nukman menjelaskan beberapa contohnya.

"Boleh selfie apa pun di situ, tapi demi menjaga empati, foto saja bagian tubuh, enggak perlu muka. Misal foto sedang menjejakkan kaki di lokasi bencana, atau tangan sedang membersihkan timbunan," ujar Nukman.

Ia juga memberikan opsi lain bagi orang-orang yang ingin berfoto di lokasi yang tidak wajar, misalnya dengan difotokan oleh orang lain dari arah belakang sehingga tidak menampakkan muka.

"Selfie itu ya mesti senyum, selfie itu mesti sempurna, biar terlihat keren dan lain-lain. jadi ketika dia pegang ponsel, dia kehilangan niatnya ke sana apa," tutur Nukman.

Bukan tidak mungkin, para pemburu swafoto atau selfie itu datang ke lokasi dengan membawa bantuan atau upaya baik lain. Setelah niat utamanya tertunaikan, mereka akan mengambil satu atau dua foto diri yang akan menjadi bukti kehadirannya di lokasi.

Namun, sekali lagi selfie dapat membuat seseorang lupa dia sedang ada di mana, dalam kondisi yang seperti apa dan sebagainya.

Jadi, pintar-pintarlah menyesuaikan kondisi di mana kita berada.

3. Bukan penyakit milenial

Saat ditanya tentang penyakit milenial, Nukman menyatakan tidak sepakat dengan istilah itu. Menurut dia, kecenderungan orang untuk berburu swafoto ke berbagai tempat merupakan sesuatu yang normal.

Ini pun, menurut Nukman, bukan menjadi suatu indikasi adanya pergeseran nilai dalam masyarakat. Dulu tidak ada orang yang berfoto ria di lokasi bencana, kecelakaan, kebakaran, dan sebagainya, sangat berbeda dengan apa yang terjadi hari ini.

"Bukan (penyakit milenial dan pergeseran nilai), karena dulu belum ada selfie, trend selfie baru muncul," ujar dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/12/27/171008020/boleh-saja-berfoto-di-lokasi-bencana-tetapi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke