Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gaya Hidup Digital Nomad Membahagiakan, Benarkah?

Ya, digital nomad adalah seseorang yang bekerja dari lokasi yang dipilihnya sendiri, dan seringkali dirinyalah yang menetapkan jadwal kerjanya sendiri.

Bahkan, bukan tak mungkin para digital nomad bekerja sambil keliling dunia, mendatangi setiap tempat-tempat menarik, tanpa khawatir dengan biaya.

Seperti dilansir laman intentionaltravelers.com, para digital nomad memanfaatkan teknologi digital nirkabel untuk melakukan tugas pekerjaan mereka. Lalu, menjalani gaya hidup secara nomaden.

Pekerja semacam itu biasanya bekerja dari jarak jauh, seperti rumah, kedai kopi, perpustakaan umum, dan bahkan saat dalam perjalanan, untuk menyelesaikan tugas.

Namun, dengan keuntungan yang tampak nyata pada gaya hidup remote, bukan tak mungkin ada tekanan dan stres yang tidak banyak diketahui orang awam.

Carolin Muller -misalnya. Perempuan ini telah menjadi digital nomad selama enam tahun terakhir, dengan menjalankan bisnis psikologi online.

Pada 2018, ia berada di Sri Lanka, kemudian Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Saat ini, ia memiliki visa turis, sehingga harus pindah dalam waktu tiga bulan.

"Saya tahu perjuangannya," kata Muller, seperti dilansir laman Insider.

"Ketika kita hidup dalam budaya lain yang tidak kita mengerti, kita fokus pada karier yang dapat membuat kita terisolasi secara sosial."

"Jauh lebih sulit bagi digital nomad agar tetap sehat secara mental," kata dia.

Kini, akibat pandemi virus corona yang sedang merajalela di berbagai belahan dunia, kita mungkin merasa seperti digital nomad.

Tidak pernah merasa puas

Digital nomad berbeda dari kehidupan ekspat, kata Muller, karena kita tidak pernah merasa puas, dan tanpa memiliki alamat tetap.

Sementara, menurut Muller, ekspatriat mengetahui kondisi di mana mereka akan berada di satu tempat untuk masa depan yang dapat diduga.

"Ini adalah yang ideal, menjelajahi dunia, dan bekerja pada saat yang bersamaan," kata Muller.

"Tapi kita tidak pernah dalam budaya stabil. Kita selalu berubah dari satu budaya ke budaya lain, kita datang dan pergi, dan kadang-kadang kita mengalami gegar budaya."

Ia mencontohkan, di Vietnam, tinggi kursi di restoran mewah hanya 30 centimeter. Sedangkan di India, orang cenderung duduk di lantai untuk makan.

Bahkan kopi pun sangat bervariasi, tergantung di mana kita berada.

Orang Vietnam meminumnya dengan es, sedangkan di Malaysia mereka menggoreng biji kopi, yang membuatnya sangat berminyak.

"Semuanya sangat kultural dan kita harus selalu beradaptasi dengan itu," kata Muller.

"Dan saya pikir ada perasaan yang tidak kita mengerti dan tidak merasa dimengerti orang lain pada saat bersamaan. Ini benar-benar melelahkan."

Dalam kehidupan kita sehari-hari, mudah untuk menyepelekan ketergantungan kita pada rutinitas. Seperti, di mana mendapatkan kopi favorit di pagi hari, berapa harga satu kilogram tomat, dan lain-lain.

Biaya hidup juga bisa setengah atau dua kali lipat dari tempat tinggal kita, tergantung negara yang kita datangi.

"Ketika saya pergi ke suatu tempat, saya harus mencari tahu berapa harga asli sebuah mangga, apakah saya mendapat harga turis atau itu harga sebenarnya," kata Muller.

"Anggap saja ini pertarungan yang berat," sambung dia.

Ada tekanan agar berhasil

Ada tekanan dari kerabat, keluarga, dan orang-orang yang kita tinggalkan. Sebab biasanya mereka berharap banyak dari orang yang pindah negara untuk bekerja.

"Terutama jika kepindahan terjadi dari dari negara yang kurang sejahtera," kata Muller.

Seorang teman Muller pindah dari Tunisia ke Kanada, dan keluarga serta teman-temannya selalu bertanya tentang rumah, mobil apa yang dia miliki, dan seberapa sukses dia.

"Lebih sulit berbagi dengan orang di rumah jika kita berjuang dan mengalami krisis."

"Sebab mereka meyakini, -misalnya, 'kamu tinggal di Singapura, punya rumah, supir, pekerjaan yang bagus, dan menghasilkan uang, apa masalahnya?'"

Ini berlaku sama untuk digital nomad, di mana orang menganggap bekerja jarak jauh keliling dunia adalah mimpi.

Namun, Muller mengatakan, tidak segala hal selalu tentang pantai, dan lalu menjadi bahagia atau gembira.

"Bahkan ini bisa terasa sulit," kata dia. "Saya bisa duduk di pantai dan merasa sedih."

Berada dalam suatu hubungan juga merupakan ujian. Muller dan pasangannya memiliki paspor berbeda, artinya jika mereka berpergian mereka tidak dapat tinggal di satu negara untuk jangka waktu yang sama.

Ini hanyalah harga yang kita bayar untuk gaya hidup, kata Muller, dan cara menjaga diri untuk fokus pada hal-hal yang sangat penting bagi kita.

Misalnya, jangan membandingkan diri kita dengan gambar palsu yang ada di media sosial, dan sebaliknya pikirkan apa yang ingin kita capai, dan jaga kesehatan mental serta fisik.

"Perubahan itu baik, tetapi kita harus selalu memeriksa diri dan bertanya apakah kita punya energi," kata Muller.

"Jaga keseimbangan antara pergi menjelajah dan merawat diri. Karena selalu penting bagi kita agar dapat tidur nyenyak, makan dengan baik, berolahraga, demi menjaga rutinitas tertentu."

Jika tidak, kita bisa terjebak dalam siklus intens pesta sepanjang malam, bangun terlambat, dan sulit berpegang pada jadwal kerja yang tetap.

Lingkungan tempat kita berada dapat memerlukan upaya adaptasi yang lebih, dan membutuhkan motivasi serta kendali diri nyata.

Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah mencari pertemanan sejati, kata Muller.

"Semua orang bergerak dan tidak selalu ke arah yang sama, jadi sulit menjaga persahabatan, atau tetap berhubungan karena kita selalu menemukan teman baru," katanya.

"Kita harus mencoba fokus pada beberapa orang, atau berusaha melihat orang-orang di rumah."

"Karena pada akhirnya kita adalah makhluk sosial, dan ini penting untuk kesehatan mental kita."

Digital nomad dapat berada pada rute yang sangat berbeda dengan orang-orang yang mereka kenal di rumah, di mana mereka membeli rumah dan telah memiliki anak.

Tetapi jika kita berpegang pada rutinitas yang kita anggap penting, kita tidak akan perlu membandingkan diri sebanyak itu.

"Sangat penting bagi kita untuk memahami ilusi itu, tidak perlu berpikir bagaimana kehidupan kita nantinya, dan fokus pada tujuan nyata, apa yang penting bagi kita," kata Muller.

"Kadang-kadang digital nomad dapat terlalu fokus pada pekerjaan dan mengisolasi diri mereka, tetapi kemudian akhirnya mengalami kelelahan."

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/04/15/084226220/gaya-hidup-digital-nomad-membahagiakan-benarkah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke