Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nagita Slavina Tersandung Isu Cultural Appropriation, Apa Maksudnya?

KOMPAS.com - Istilah cultural appropriation viral seiring di media sosial seiring dengan polemin penunjukkan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua.

Sosok Nagita dianggap tidak tepat sebagai representasi karena bukan Orang Asli Papua (OAP).

Alih-alih menunjuk wanita pribumi dengan kecantikan khas lokal, istri Raffi Ahmad ini malah dijadikan duta dan dipotret dengan pakaian Papua.

Banyak yang menuding, praktik ini menjadi bentuk dari cultural appropriation. Komika berdarah Papua, Arie Kriting menjadi salah satu yang mengemukakan pendapat ini melalui unggahan di akun Instagramnya.

"Penunjukan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua ini memang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya Cultural Appropriation. Seharusnya sosok perempuan Papua, direpresentasikan langsung oleh perempuan Papua."

Nagita Slavina bukan satu-satunya selebritas yang pernah tersandung tuduhan ini. Sebelumnya Adele, Kendall Jenner dan Kylie Jenner juga pernah dianggap melakukan salah satu penistaan budaya ini.

Jadi, apa sebenarnya cultural appropriation alias apropriasi budaya ini?

Istilah cultural appropriation secara resmi pertama kali masuk dalam Kamus Oxford pada 2017.

Frasa ini dideskripsikan sebagai "the unacknowledged or inappropriate adoption of the customs, practices, ideas, etc. of one people or society by members of another and typically more dominant people or society.”

Penjelasan ini bisa diartikan sebagai adopsi yang tidak diakui atau tidak pantas atas kebiasaan, praktik, ide, dll. dari satu orang atau masyarakat oleh anggota orang lain dan biasanya orang atau masyarakat yang lebih dominan.

Secara sederhana, praktik ini terjadi ketika seseorang mengadopsi sesuatu dari budaya yang bukan miliknya sendiri termasuk gaya rambut, pakaian, dan cara bicara.

Contohnya ketika penyanyi Justin Bieber dituding melakukan cultural appropriation ketika memakai gaya rambut dreadlocks yang identik dengan budaya orang kulit hitam.

Tudingan ini bagi sebagian orang dinilai tak berdasar. Pasalnya, era globalisasi memungkin pertukaran dan pengaruh budaya tradisional dalam bentuk-bentuk popular.

Akibatnya, ini dianggap bisa membatasi kebebasan berekspresi seseorang dan menjadi belenggu. Misalnya ketika orang tidak lagi bebas memilih kostum Halloween karena khawatir melakukan apropiasi budaya ini.

Memahami Konteks Sejarah Istilah Cultural Appropriation

Agar tak terjebak pada perilaku ini, penting bagi kita untuk memahami konteks sejarah soal praktik cultural appropriation ini.

Mengacu pada laman EverydayFeminism, apropriasi budaya tidak sama dengan pertukaran kultur.

Apropriasi mengacu pada dinamika kekuatan tertentu di mana anggota budaya dominan mengambil elemen dari budaya orang-orang yang secara sistematis ditindas oleh kelompok tersebut.

Kuncinya soal kesetaraan ras dan budaya yang sayangnya belum benar-benar terwujud di dunia ini.

Deskripsi ini mengacu pada laporan sosiologi yang menyebutkan soal praktik ini pada 1990-an. Awalnya dilakukan kepada masyarakat adat di sejumlah daerah seperti Kanada, Australia dan Amerika Serikat.

Para penjajah mengadopsi budaya pribumi yang dianggap menarik dan mempopulerkannya tanpa menghargai pemilik budaya aslinya.

Intinya, kelompok yang lebih terpinggirkan tidak mendapatkan suara, sementara warisan budayanya disebarkan oleh seseorang dalam posisi hak istimewa yang lebih besar.

Tujuannya bisa untuk kesenangan, model, atau ketidakpedulian tentang pentingnya penghargaan budata asli itu.

Dikutip dari laman The Week, Dr Adrienne Keene dari Native Appropriations menegaskan pola perilaku ini. "Anda berpura-pura menjadi ras yang bukan Anda dan menggunakan stereotip untuk melakukannya."

Mirip seperti kasus Nagita Slavina yang dipotret dengan busana daerah untuk menjadi Duta Pon XX Papua.

Padahal ada banyak wanita cantik Papua lainnya yang layak untuk posisi ini seperti Nowela, Lisa Rumbewas, Putri Nere, dan Monalisa Sembor, seperti kata Arie Kriting.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/06/03/131933120/nagita-slavina-tersandung-isu-cultural-appropriation-apa-maksudnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com