Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sadari, 5 Risiko Lakukan Diagnosis Kesehatan Mental Sendiri

Padahal faktanya,  gangguan mental sama saja seperti penyakit jantung atau penyakit lainnya.

Kondisi mereka perlu ditinjau secara medis dalam mendapatkan penanganan yang tepat.

Perlu diketahui, masalah mental dapat diobati, dan banyak perubahan secara positif jika mendapatkan bantuan medis.

Psikiater, dokter spesialis hingga dokter yang berfokus pada kesehatan mental dapat membantu pasien dalam memahami penyakit mental serta pengendalian yang tepat.

Hal itu bertujuan untuk meringankan dan mengatasi gejala demi kesehatan dan kesejahteraan pasien itu sendiri.

Dalam banyak kasus, pasien yang mendapat diagnosis secara medis dapat ditangani dengan baik, sehingga kondisi mental health-nya semakin membaik.

Lain cerita ketika seseorang mendiagnosis diri tanpa bantuan ahli.

Berbagai risiko bisa saja terjadi dan tentu akan merugikan diri sendiri.

Kesehatan mental masih menjadi topik utama dan cukup sering dibahas di media sosial.

Maraknya informasi terkait hal itu dan kemudahan dalam mengaksesnya membuat self diagnose atau diagnosis diri sendiri menjadi satu hal sulit dihindari.

Contohnya ketika seseorang mengalami situasi yang membuatnya cemas.

Akibat membaca informasi yang dirasa cocok dengan dirinya, orang itu mengklaim kalau dia menderita anxiety disorder.

Atau pembahasan soal bipolar yang lalu dia mengaku bipolar, bahkan dibagikan ke media sosial.

Padahal apa yang mereka yakini itu belum tentu sesuai dengan kacamata medis.

Banyaknya informasi yang tersedia di internet dan media sosial, justru membuat kita harus lebih waspada ketika mencoba memahaminya.

Terutama jika itu berhubungan dengan kesehatan mental.

Potensi bahaya ketika mendiagnosis diri sendiri tanpa bantuan medis di antaranya sebagai berikut.

1. Terjadi banyak kesalahpahaman

Diagnosis diri sendiri adalah praktik yang bisa menimbulkan konsekuensi serius terkait kesehatan mental.

Seperti kita tahu, gangguan kesehatan mental itu hadir dengan nama dan gejala yang sangat beragam.

Bisa kita ambil contoh beberapa kondisi depresi, kecemasan, Post-traumatic stress disorder (PTSD) hingga 200 bentuk penyakit lainnya.

Masing-masing dari gangguan itu memerlukan penanganan yang tidak sama.

Oleh karena itu, mencoba mendiagnosis diri sendiri yang cuma bermodalkan informasi di internet bisa menimbulkan gejala lain dan memperburuk kualitas hidup.

2. Tidak mengetahui langkah penanganan

Kebanyakan kasus mendiagnosis diri sendiri dari internet adalah hanya mencari gejala hingga tanda-tandanya.

Sedangkan penanganan yang tepat tidak ditelusuri dengan baik.

Akibatnya, masalah yang sebenarnya mudah diatasi dengan medis, malah bertambah buruk.

Kita tidak bisa mengetahui apakah seseorang dengan gangguan mental perlu perawatan intensif atau tidak tanpa bantuan medis.

Melansir News Medical, mengira-ngira apa yang dialami hanya berdasarkan cocoklogi, bisa memperburuk keadaan.

3. Menyulitkan pasien dan praktisi medis

Selama mendiagnosis diri sendiri, seringkali pasien akan menilai gejala-gejala yang hanya diterima oleh akal sehat mereka.

Sementara pada kemungkinan terburuk atau akibat dari gangguan itu kerap ditolak mentah-mentah.

Misalnya pasien meyakini kalau mereka hanya mengalami depresi yang mengakibatkan kesulitan tidur.

Tanpa diagnosis secara medis, pasien tidak akan mengetahui bahwa dia menderita kasus depresi berat atau gangguan kesehatan mental yang lain.

Ini sangat berbahaya jika mereka menyangkal bahwa mereka memiliki beberapa kondisi yang semuanya tidak mungkin dijelaskan secara gamblang.

Pasien tersebut bisa saja mengabaikan pengobatan tertentu demi mengatasi gangguan yang hanya mereka yakini.

Hal itu dapat berpotensi memperburuk mental health mereka.

4. Tidak membantu sama sekali

Diagnosis diri sendiri sering diikuti oleh rencana perawatan yang dirancang secara umum.

Padahal, setiap gejala gangguan mental perlu mendapatkan penanganan yang lebih signifikan.

Ketika itu terjadi, sama saja seperti tidak mengobati apa-apa karena penanganan yang dilakukan tidak tepat sasaran.

5. Berakibat fatal

Hanya modal sok tahu dalam mengetahui kondisi mental memungkinkan untuk melewatkan bahkan menunda pengobatan pada sejumlah penyakit.

Hal ini bisa mengancam kondisi psikis dan berakibat fatal.

Tak perlu diperdebatkan lagi, mencari bantuan profesional dalam mengatasi masalah kesehatan mental merupakan langkah yang tepat.

Diagnosis secara medis dapat memberikan jalan yang lebih mudah dalam mengatasi gangguan yang dialami pasien.

Dampaknya tak cuma baik berguna bagi kesehatan mental, tapi juga mencegah penyakit atau mengurangi dampak pada fisik yang ketika terjadi komplikasi.

Pastikan saat mencari bantuan medis ingat lagi bagaimana gejala yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. 

Seorang praktisi medis bakal menyelidiki dengan tepat berbagai penanganan termasuk rencana perawatan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.

Biasanya dokter akan memberikan layanan konsultasi, meresepkan obat dan terapi. Atau, bahkan kedua kombinasi perawatan tertentu yang lebih efektif.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/07/02/223440820/sadari-5-risiko-lakukan-diagnosis-kesehatan-mental-sendiri

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com