Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tak Menyesal Membuat Tato? Pahami Kaitannya dengan Disonansi Kognitif

Bahkan, kita mungkin pernah mendengar cerita dari orang yang membuat tato saat mabuk dan tak sadar.

Di sisi lain, jika pun kita sudah berpikir dan menimbang masak-masak tentang gambar yang akan ditorehkan di tubuh, bukan berarti kita tak akan pernah menyesal.

Tidak ada jaminan bahwa kita akan terus menyukai tato yang menghiasi tubuh kita tersebut.

Berdasarkan hasil survei berskala besar yang baru dirilis, lebih dari 25 persen orang di  Amerika Serikat menyesali tato di tubuh mereka.

Bence Nanay, Ph.D., profesor filsafat di Universitas Antwerpen dan Universitas Cambridge, serta pemegang Hibah ERC senilai jutaan Euro untuk mengintegrasikan filsafat, psikologi, dan ilmu saraf, membahas mengenai hal ini.

Nanay menyebut, kita mungkin berpikir bahwa 25 persen adalah rasio yang tinggi.

Tetapi ketika kita mempertimbangkan perubahan yang sangat cepat dari preferensi estetika, angka ini sebenarnya sangat rendah.

Kita tahu bahwa preferensi estetika berubah dengan sangat cepat.

Temuan terbaru menunjukkan bahwa kita berubah pikiran tentang musik, film, dan seni visual sesering dua minggu sekali.

"Dan tidak ada alasan untuk percaya bahwa seni tato akan menjadi pengecualian," kata Nanay.

Bahkan jika kita merasa bahwa tato yang kita miliki adalah desain terindah yang pernah ada saat kita membuatnya setahun lalu, sangat kecil kemungkinannya kita memiliki rasa yang sama sekarang.

"Kita mungkin berpikir: mungkin ada sebagian orang, tapi tidak bagi saya," sambung Nanay.

"Dan kita memang sangat pandai menyangkal kemungkinan bahwa preferensi estetika kita akan berubah," sebut dia lagi.

Ini, menurut Nanay, adalah kasus khusus dari pemahaman End of History Illusion -fenomena psikologis yang sudah mapan yang menunjukkan bagaimana kita (secara keliru) menganggap diri kita sebagai produk jadi.

Kita mungkin telah berubah di masa lalu - kita berbeda dengan diri kita lima tahun yang lalu - tetapi itulah akhir dari cerita. Mulai sekarang, kita tidak akan berubah lagi.

Bias ini juga berlaku untuk preferensi estetika. Kita mungkin menyukai musik yang berbeda lima tahun yang lalu, tetapi kita yakin bahwa kita akan terus menyukai jenis musik yang sama sekarang.

"Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian End of History Illusion, kita secara konsisten selalu salah dalam hal ini," sebut Nanay.

"Jadi, kita akan -atau setidaknya harus- kurang menyukai tato kita seiring berjalannya waktu," tegas dia.

Lalu mengapa rasio yang sangat rendah, yaitu 25 persen orang di AS yang mengaku menyesali tato mereka?

Jawaban ini, menurut Nanay, berkaitan dengan disonansi kognitif. Disonansi kognitif adalah reaksi emosional terhadap konflik antara sesuatu yang kita lakukan dan citra diri.

Bayangkan kita baru saja mengambil karton susu terakhir di toko, sementara kita melihat seorang wanita tua berjalan ke arah barang tersebut.

Pikiran kita akan sangat pandai dalam menyingkirkan perasaan yang ditimbulkan oleh konflik mental seperti itu.

Kita dapat membuat diri kita percaya, misalnya, bahwa wanita itu sedang mencari yoghurt, bukan susu.

Atau kita bisa langsung memikirkan hal lain, atau memeriksa ponsel untuk mengalihkan perhatian.

"Sesuatu seperti disonansi kognitif menjelaskan mengapa kita enggan menyesali tato kita," kata Nanay.

Bahkan jika preferensi estetika kita telah berubah, mengakui pada diri sendiri bahwa kita akan selamanya memiliki tato yang sebenarnya tidak kita sukai akan menyebabkan disonansi kognitif.

Jadi, cara kita untuk menghilangkan perasaan negatif ini adalah dengan tetap berpegang teguh pada keyakinan bahwa tato tersebut bagus dan luar biasa.

"Hubungan antara penolakan terhadap penyesalan tato dan disonansi kognitif ini jelas penting untuk memahami sikap kita terhadap tato," sebut dia.

Namun, tak kalah penting untuk memahami berbagai aspek disonansi kognitif tadi.

Kuesioner berskala besar tentang penyesalan tato di AS memiliki banyak temuan yang secara langsung terkait dengan konsep disonansi kognitif.

Sebagai contoh, survei tersebut menemukan bahwa wanita secara signifikan lebih mungkin untuk menyesali tato mereka daripada pria.

Perbedaan ini tidak dijelaskan oleh perbedaan dalam kehidupan emosional atau preferensi estetika.

Perbedaan ini lebih berdasar pada fakta bahwa pria jauh lebih mungkin untuk melakukan apa pun yang mereka bisa, demi menghilangkan disonansi kognitif.

"Penyesalan tato, dengan demikian, dapat menjadi jalan yang cepat dan mudah untuk kita mempelajari salah satu fenomena mental yang paling sulit dipahami ini," sebut Nanay.

https://lifestyle.kompas.com/read/2023/10/06/100000420/tak-menyesal-membuat-tato-pahami-kaitannya-dengan-disonansi-kognitif-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke